12. | Kala Janji Harus Ditepati

2 0 0
                                    

Kala Janji Harus Ditepati -part 1
*************************
Singkawang, Desember 1941

Truk tentara itu menurunkan aku di jembatan Agen...lalu kaki ini melangkah terburu-buru ke belokan itu, Kampung Tengah, rumah orang tuaku di situ..tempat kelahiranku, masa kecilku...menawarkan rasa aman dan perlindungan yang hangat...hari telah menjelang Magrib, langit jingga bersemburat biru muda..

Ah itu dia, ayah berdiri di beranda seperti biasa menjelang Magrib, sebelum ia menutup pintu dan jendela lalu bergegas ke masjid untuk mengumandangkan adzan..

"Yah!"... Panggilku.

" Ani..kau balik?", tanyanya...maksudnya 'kau pulang?'

Wajahnya membiaskan keheranan..jelas ia belum tahu pemboman di Pontianak..

Kutapak tangga beranda, mencium tangannya.. Ayah memandangiku heran..

"Mane barang-barangmu? ..Kau balik dengan siape ?.. Ngape kau berantakan macam itok ?" Rentetan pertanyaan itu otomatis keluar dari mulutnya.

Aku masuk ke ruang tamu dan bilang, "Nanti aku ceritakan ayah.. Mana mamak?"

Kakiku terus melangkah menuju dapur, biasanya mamak ada di situ...sibuk menyiapkan makan malam...nah itu dia..masih memegang teropong peniup tungku api.

" Mak, aku balik"..seruku lalu mencium tangannya. Wajahnya bingung.

Ayah mematung di ambang pintu dapur..menunggu penjelasanku..kupaparkan kejadian hari ini...dari awal hingga akhir...mamak memelukku erat..sementara ayah berucap istigfar.

Esok dan esoknya lagi sembari menghabiskan waktu bersama saudara dan orangtua, aku mendengar kabar Jepang telah masuk ke Pemangkat, Sanggau Ledo, dan Pontianak....hingga suatu sore.

"Ani..buatkan teh, dua", demikian perintah mamak yg muncul tiba-tiba saat aku tengah sibuk meniup-niup tungku api..aku tengah memasak asam pedas kepala manyong kesukaan ayahku..pasti ayah kedatangan tamu, pikirku.

Kusambar kerudung di pintu sebelum membawa baki berisi teh ke ruang tamu...dan sejenak aku membeku di sana...

Ya...yang duduk berseberangan dengan ayah adalah dia..dia yg pergi ke Singapura dan berjanji kembali untukku..dia Hamid.

Sontak tanganku dingin..dingin sekali...kuletakkan dua cangkir teh itu..tak mampu berucap..hanya saja bersyukur..dia selamat dari huru-hara.

" Ani..benar ini Hamid, kawanmu dari Pontianak?" Tanya ayah.

"Iya", jawabku.

" Ia melamarmu." Kata ayah.

Deggg...jantung ini rasa terlompat .

"Kalau kau bersedia, Dinda." Kata Hamid.

Ah, senyum itu...begitu mempesona.
Bagaimana harus kujawab?...Aku juga ingin bersamanya...tapi malu..

****

Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan ---Kala Janji Harus Ditepati---part 2
*************************
Singkawang, masih Desember 1941

Aku duduk di kursi ayah tadi...Hamid di seberangku...kami duduk dalam diam..menyadari betapa beruntungnya bisa berada dalam waktu dan tempat yang sama di tengah ketidakpastian rasa aman di negeri ini.

Aku tahu di balik pintu kamar-kamar itu ada telinga yg menempel erat...menguping penuh keingintahuan...ah, adik-adik yang penasaran.

Dan aku juga tahu dari balik gorden arah ke dapur ada ayah dan mamak di situ..mengawasi dan mungkin hampir tersedak oleh rasa bahagia karena anaknya telah dilamar oleh seorang laki-laki pemberani yang datang sendiri dari Pontianak dalam situasi darurat perang seperti ini.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now