7.| Cintamu Kusimpan Rapi Dalam Hatiku

1 2 0
                                    


Pontianak, 1941

"Ayo kite ke Seng Hie", ajaknya suatu siang sepulang sekolah. Hamid memang menungguku di teras sekolah.

" Mau ape?" tanyaku. Tak biasanya ia mengajakku ke suatu tempat. Ke Seng Hie pula. Pelabuhan barang yang jadi sandaran kapal-kapal Phinisi.

"Mau ambil rempah, bapak menyuruhku tadi, sekalian menaruhnya di toko. Bapak tadi pulang lebih awal karena ada acara di kampung. Mau kan ngawankan aku? Dinda sayang?" Pintanya. Ada senyum menghamba di sana..ah, luluh hatiku.

"Pakai sepedaku? Atau sampan?" Tanyaku.

"Sampanku jak..sepedamu titip di penitipan sepeda itu.." Tunjuknya pada pos penitipan sepeda dekat dermaga. Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya, beberapa senti di sampingnya. Agak di belakangnya sedikit. Hamid yang menuntun sepedaku, menitipkannya di pos itu, kemudian menggandeng tanganku menuruni tangga dermaga.

Membimbingku turun ke sampan sampai aku duduk tenang di situ. Ada beberapa sampan tertambat dan para pengayuhnya yang asyik main catur di bawah pohon. Mereka masih menunggu penumpang.

Hamid mengayuh sampan tanpa bicara. Aku pun demikian. Masing-masing hanyut dengan pikirannya. Menikmati ayunan ombak sungai.

Tak berapa lama kami tiba di dermaga pasar Parit Besar. Dari situ kami berjalan sedikit menyusuri toko-toko grosir besar hingga sampai di Seng Hie. Hamid mengambil barang pesanan ayahnya yang berupa sekarung rempah kering yang langsung dipanggul di bahunya.

Aku tak bisa menahan ungkapan wajah kagum padanya. Hamid begitu kuat, begitu perkasa. Kami lalu berjalan lagi menyusur lorong pasar yang mulai sepi.

Menjelang sore toko-toko mulai tutup walau ada juga beberapa yang masih buka seperti warung kopi dan makanan.

"Ayo masuk sebentar, bantu aku menyusun rempah ini.." Katanya seraya memutar kunci pintu. Ruang dalam toko gelap, tapi Hamid tak menyalakan lampu, ia hanya menyibak gorden untuk mendapatkan sedikit cahaya untuk membantu kami menyusun bungkus-bungkus rempah jamu tersebut di dalam rak.

Setelah selesai aku lalu beranjak menuju pintu keluar, tak enak rasanya berdua-duaan dalam ruangan yang remang-remang seperti ini.

Tiba-tiba Hamid menarik tanganku dan memepetku ke dinding. Ia tak bicara sepatah pun. Tapi degup jantungku dan jantungnya begitu lantang terdengar, setidaknya olehku sendiri.

Mengapa ia menatapku begitu? Mengapa genggaman tangannya berubah jadi remasan hangat? Saat hembusan napas itu demikian dekat, aku membeku.

Kami muda dan menyimpan rasa haus itu tak dapat dipungkiri, tapi ada pagar yang tak boleh dilompati.

Kulepaskan genggaman tangannya, kudorong dadanya lembut. Aku berusaha menyusun napas dan menormalkan detak jantung yang berantakan. Dengan suara serak aku bicara, "Kanda, ini salah."

Hamid menutup mata beberapa saat. Menarik napas panjang dan memelukku erat. Hanya sedetik lalu melepaskanku.

"Dinda, maafkan kandamu ini.."

Kami bertatapan dan saling mengerti apa yang kami rasa dan beratnya menahan diri.

"Ayo pulang," ajakku. Suaraku bergetar, tapi kupaksakan memasang senyum termanis yang kupunya.

"Kau manis. Jangan terima cinta yang lain ya, adindaku ini hanya untukku."Katanya.

Aku bergeser dan menjauh.
Ia menatap heran.

"Jangan ragu kanda, jadi cepatlah lamar aku.." Ujarku lalu berbalik menuju pintu.

Hamid tersenyum dikulum.

"Kau ini seperti jinak-jinak merpati.." gumamnya.

Aku tersenyum lebar. Ah, tak usah khawatir. Cintamu kusimpan rapi dalam hatiku.

Pontianak, 1 Maret 2018
00.29

****
Pada foto, pelabuhan Seng Hie.

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now