16. |Aksara

3 0 0
                                    


Pontianak, 1942

Hamid berhasil menempatkan aku sebagai salah satu guru di madrasah Ibtidaiyah Kampung Beting. Itu sekolahnya dulu. Ia yang datang ke sana dan berbicara pada kepala sekolahnya. Aku ditugaskan mengajar di kelas 1, diamanahkan mengajar anak-anak membaca dan menulis huruf latin. Untuk ilmu agama dan bahasa Arab, sudah ada guru yang lebih mahir. Kampung Beting memang terkenal sebagai kampung pencetak ulama dan cendekiawan muslim ternama di antero Kalimantan ini. Hal ini juga membuatku senang sekali bisa ikut mengajar di sini.

Kata Hamid aku bisa mulai besok. Ia akan mengantarku menyeberang lalu berjanji untuk Zuhur bersama di Masjid Jami'. Saat ini kami sudah seminggu tinggal di lantai atas ruko milik ayah Hamid di pasar Tengah.

Aku mulai mengira-ngira waktu dan pengaturan makan siang kami. Kurasa
subuh nanti aku sudah harus menyiapkan bekal. Tak masalah buatku setiap hari membawa bekal rantang untukku dan Hamid. Begini lebih baik, lebih sehat, dan lebih mesra.
Jadi ingat kenangan kami dulu sering makan siang bersama di steger dekat sekolahku. Membawa bekal dan berbagi lauk bersama.

"Ani,..adindaku sayang.." Sapanya saat mendekat di dapur. Aku sedang mengiris sayuran.

"Hmm," itu sahutku. Hamid terkekeh, sudah paham dia kalau aku sedang berkonsentrasi bekerja, aku cenderung malas bicara.

"Kau sudah siap besok?" tanyanya.

"Bismillah saja kanda, mengajar itu tak bisa ditebak setiap harinya, bahkan pada murid yang sudah akrab dengan kita. Hari ini bisa berhasil dan menggembirakan hati, esok mungkin bisa amat mengecewakan."

"Bise gitu ye.."Hamid memain-mainkan helai rambutku yg terlepas dari ikatan. Ia duduk bersandar di meja dapur. Jemarinya sibuk melilitkan rambutku. Aku berhenti lalu menatapnya.

"Kanda membutuhkan aku?" tanyaku dgn pipi memanas.

Hamid tergelak tanpa suara. Lalu tangannya meraih wajahku. Ia menciumku mesra. Sepertinya persiapan memasak dihentikan saja dulu. Ada kewajiban yang lebih mendesak.

Esok paginya kabut tipis masih menyelimuti permukaan Kapuas saat Hamid mencecahkan air sungai dengan dayungnya. Aku tak sendiri, ada beberapa penumpang yang juga menyeberang.
Ada seorang ibu dengan anak kecil. Anaknya masih mengantuk. Ia memeluk ibunya erat dengan mata berat. Aku tersenyum sendiri. Aku tak tahu bilakah saat itu tiba untukku. Sudah beberapa bulan sejak pernikahan kami di Singkawang, tetapi tamu bulananku selalu setia hadir setiap bulannya. Lumayan menumbuhkan kekecewaan, tapi aku percaya ini semua ketentuan Allah. Bila saat itu tiba kelak, kuharap aku telah siap lahir dan batin untuk menjadi seorang ibu.

Kami tiba di seberang, di dermaga yg terletak di antara Masjid Jami' dan Keraton Kadariah. Kucium tangan Hamid dan ia mengecup dahiku. Kami berpamitan dan berjanji berjumpa di masjid Jami' pas Zuhur nanti.

Aku berjalan melewati jembatan terus melintasi halaman masjid, belok kanan ke gang sempit. Tak berapa jauh tiba di sebuah rumah panggung yang dijadikan madrasah. Aku bertemu kepala sekolahnya, lalu diantar ke kelas. Hari itu adalah perkenalan. Kuusahakan agar murid-muridku bisa dekat namun tetap sopan padaku. Itulah, adab hendaknya muncul terlebih dahulu baru ilmu.
Bersama guru-guru yg lain juga perkenalan. Sungguh berat bila ditanya berapa anak dan sudah berapa lama menikah.

Hamid mengatakan padaku untuk tidak memasukkan ke hati bila diberi pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

"Kita sungguh tak tahu , Dinda. Semua ketentuan Allah. Percaya pada Allah kan?" Demikian ia menguatkan.

Zuhur menjelang dan kelasku sudah selesai. Aku lalu pamit dari sekolah dan menuju masjid Jami'.
Ternyata Hamid sudah menunggu di sana. Ia duduk di teras masjid yang mengarah pada jalan arahku datang. Wajah tampan itu sudah basah oleh wudhu.

"Wudhu dulu sana. Lalu kalau sempat sholat sunnat."

Ia memyambut dan meletakkan barang-barangku di dekat pintu masuk. Aku lantas bergegas menuju tempat berwudhu.

Sholat berjamaah di masjid ini betul-betul pengalaman menyenangkan. Kau bisa merasakan hembusan angin dari sungai Kapuas, saat kita sholat berjamaah. Rasanya ...wah.... Segarnya ! Selesai sholat, kami meminjam teras mesjid yang menghadap ke sungai untuk makan berdua.

"Kanda, maafkan bila masakanku...banyak kekurangannya. Aku tak pandai masak." Kataku.

"Tak layak bila aku mencela...ini semua rejeki dari Allah." Demikian jawabnya. Ia tersenyum dengan sorot mata tulus yang membuatku salah tingkah.

Pontianak, 12/06/2018
00.38

kata-kata teruntai demi pelipur lara
senyum tersungging perlahan di sudut bibirmu
Aku! Aku ! aku yg menciptakannya..
tapi tak berhak aku atas aksaramu...

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now