15. | Romansa Kapuas

1 0 0
                                    


Pontianak,  1942

"Turunlah... jangan termenung di situ." Panggil Hamid. Ia telah turun hingga tangga terakhir di tempat mandi pinggir sungai ini.  

Aku masih saja mematung. Aku mendekap diri yang berbalut kain basah dan bertutupkan handuk lebar. Kami tidak sedang mandi di sungai, kami punya kamar mandi sendiri di rumah Hamid. Tapi kali ini aku yang meminta ke sini.

"Ayo..kan katamu mau belajar berenang?" Panggilnya lagi.

Terus terang saja aku ngeri. Di kepalaku masih tertanam ingatan tentang  peristiwa tragedi tenggelamnya sampan yang aku tumpangi dulu. Yang untungnya aku diselamatkan oleh Hamid.

Akhirnya Hamid naik lagi, menggenggam tanganku dan membimbingku turun. Ia geleng-geleng kepala dengan senyum tertahan di sudut bibirnya. Anak-anak lelaki yang sedang bertelanjang mandi  menyoraki kami riuh.. lalu secepat kilat berlomba terjun ke sungai yang airnya coklat itu.

Aku memang masih takut, tapi ingin juga pandai berenang. Masa selamanya tak bisa berenang? Selama kos di rumah bu Rahmah di tepi parit Sungai Jawi, kadang aku ikut mencuci di tepi parit bersama anak kos yang lain. Sementara mereka bersenang-senang berenang, aku duduk saja di tangga merendam kaki dalam air parit. Ada semacam ketakutan, aku ngeri membayangkan  tenggelam, tentang ikan tapah raksasa yang bisa makan orang, tentang ular, apakah ada ular di air, aku pun tak tahu pasti, apalagi tentang buaya, aku ngeri sekali. Pokoknya  semua menakutkan kalau sudah berhubungan dengan mandi atau berenang di sungai.

"Ayo turun, pegangan padaku" Hamid membimbingku masuk ke air. Tanganku gelagapan berpegangan pada tepi tangga saat kaki mulai merasakan  air sungai. Dan sekarang air sudah setinggi dadaku.

"Peluk aku" bisiknya. Rasanya malu dilihat anak-anak yang bermain air itu. Tapi kupeluk juga tubuhnya. Air sungai Kapuas sore itu agak  hangat setelah terpanggang sinar matahari khatulistiwa pada pagi dan siang harinya.

Rasanya sulit menyeimbangkan diri agar kepala tetap di atas air.

"Tenang saja...jangan panik...peluk saja aku" katanya.

Beberapa lama kami berpelukan dalam air. Sampai rasanya terbawa perasaan dan lupa tempat.

Hamid lalu merentangkan tanganku agar aku berani berkecipak di air. Sulit ini benar-benar sulit. Kucoba juga untuk tidak berputus asa.

Setelah beberapa kali terbenam di air dan mulai merasa kedinginan, Hamid mengajakku naik.

Kami menumpang ganti baju di rumah pak mude Harun, yang betul-betul terletak menghadap sungai, dan tangga mandi ini juga adalah miliknya.

Setelah selesai berganti baju,   kami duduk di tepi gertak alias jembatan kayu yang mengular sepanjang tepian Kapuas yg juga sebagai  jalan penghubung.

Memandang sungai, menikmati hembusan angin, deru kapal motor yang lewat, dan matahari jingga. Senja yang sungguh memikat hati dan sulit untuk dilupakan bagi orang-orang pendatang yang pernah menikmati senja di tepi sungai Kapuas ini.

Hamid mendekapku dari samping.

"Kapuas inilah nadi kehidupan kite, dare manis, adinda sayangku.." Bisiknya di telingaku. Memang benar apa yang dia katakan. Sejak dahulu, transportasi orang, barang, dan jasa dalam berbagai armada baik sampan maupun kapal besar pengarung samudera telah hilir mudik di Kapuas ini. Membangun peradaban. Membangun kebudayaan.

" Ya kakanda cintaku.." Bisikku membalas.

"Dengan airnye aku bise mengayuh sampan dan menghidupimu.."

"Juga memberiku pemandangan indah sepanjang masa. Sejak pertama datang ke Ponti hingga hari ini.."

"Kau tak bise berenang pun tak apelah...kan aku bise.." Katanya pelan sambil menatap jauh ke depan.

Aku memeluknya.  Kubisikkan, "Terimakasih udah menyelamatkan aku... mencintai aku, dan menjadikan aku pendampingmu.."

Kecupan di pipi menjadi balasannya.

"Yeeeeeeeeeee....." Ramai sorak anak-anak tadi. Bertepuk tangan pula. Rupanya sambil terjun-terjun ke sungai dari gertak, mereka menonton kami.

Hamid tertawa dan melambai pada mereka. Tentu saja mereka mengenal Hamid. Cuma mungkin penasaran, seperti apa rupa istri Hamid.

Pontianak, 26 Maret 2018
00.22
Kala insomnia melanda
Maka selaksa aksara tertata
Persembahan abadi bak bunga rampai
Yang merindu kasih tak sampai
Pontianak punye cerite..

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now