18. | Mendung Tak Berarti Hujan

1 0 0
                                    

Bagian 1

Pontianak, 1942

"Ani, sayangku..adindaku.." Hamid berbisik di telingaku yg tertutup rambutku yg terurai. Aku masih berbaring dalam pelukannya dan hari masih tengah malam.

"Ya, kanda.." Sahutku berbisik.

"Aku meminta izinmu, ini berat.." Kata-katanya membuatku membalikkan badan dan menghadapnya. Hamid memelukku erat sekali, seolah ia sedang membutuhkan topangan jiwa. Aduhai kakanda, apakah gerangan yang membebani pikiranmu? Demikian batinku bersuara.

"Kau kan tahu, Adinda sayangku, aku berkawan dengan beberapa pemuka pergerakan masyarakat. Sejak datangnya Nippon ini, beberapa kali kami berkumpul untuk mencari cara mengusir Nippon."

Aku mengangguk. Hamid bukanlah seorang petinggi, tapi ia memiliki pergaulan yang luas. Ia bisa menghubungkan banyak orang. Walau hanya seorang pengayuh sampan. Tapi banyak orang membutuhkannya.

"Lalu kanda?" Tanyaku penasaran.

"Aku diberitahu oleh beberapa kawan untuk bersiaga, bila sewaktu-waktu diintai oleh Nippon. Jangan sampai disungkup olehnya. "

Aku bergidik. Nippon memang menculik lalu membantai beberapa tokoh masyarakat belakangan ini. Orang-orang yang dianggap mencurigakan keberadaan Nippon di kota Pontianak akan ditangkap oleh mereka. Istilahnya disungkup, yaitu diculik dengan kepala ditutup oleh kain atau karung.

Aku menggenggam erat jemari Hamid sambil berucap, "Jangan tinggalkan aku, Kanda. Aku tak sanggup tanpamu.."

"Ani, bila aku harus pergi menyelamatkan diri, maka kau terlebih dulu yang aku selamatkan."
Sebuah kecup hangat tertancap di keningku.

"Dindaku, sayangku, kuatkan dirimu. Kita sudah pernah berpisah sebelum ini. Dan kemudian Allah pertemukan kita kembali. Engkau tegar. Aku tak kan meninggalkanmu, walau raga kita terpisah, tapi hati kita selalu satu. Aku akan selalu kembali padamu. Aku akan mencarimu.."

Aku merasakan mata ini panas oleh airmata. Walau tak dikatakan oleh Hamid, tapi aku dapat merasakan bahwa perpisahan ini kian dekat.
Ya Allah, berilah kemudahan segala urusan kami.

Kami berpelukan sangat lama. Kami menikmati detak jantung masing-masing hingga subuh menjelang.

Esoknya kami berkegiatan seperti biasa. Karena aku belum diminta mengajar di sekolah yang kami datangi bulan lalu, jadi aku membantu ayah Hamid menjaga toko rempahnya dan Hamid mengayuh sampan seperti biasanya.

Suasana kota berjalan seperti keong, beringsut-ingsut. Ada banyak larangan dan pembatasan yang diberlakukan Nippon. Misalnya jam malam. Tentu saja rakyat ingin berontak dan hidup normal kembali seperti semula. Tapi mereka tidak tahu cara terbaiknya. Bagi kami, pendudukan Nippon ini sungguh bagaikan petir di siang bolong, tak ada yang pernah menduganya.

Saat magrib menjelang, dan Hamid pulang tanpa kurang suatu apa, aku melonjak menyambutnya dan mengalungkan tangan di sekeliling lehernya. Hamid mengerti betapa aku mengkhawatirkan dirinya.

Ia lalu menciumku mesra, memelukku hangat, dan menatapku dalam-dalam sambil berkata, "Bila bulan adalah yang terindah di semesta, maka biarlah itu untuk mereka....karena untukku, kaulah yang terindah.."

Pontianak, 8 April 2018
00.20

Kuulangi saja lagi :

Bila bulan adalah yang terindah di semesta, maka biarlah itu untuk mereka...karena untukku, kaulah yang terindah...
Cintaku Pontianak.

Kisah Nak Dare Dan Pengayuh Sampan-- Mendung Tak Berarti Hujan 

Bagian 2

Pontianak, 1942

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now