3.| Segala Kebetulan Ini

6 2 0
                                    


Pontianak, 1941

Kuraup setumpuk surat dari mejaku lalu menyatukannya dengan karet gelang. Ini semua adalah surat-surat buatan teman-teman sekelas. Semua nya akan kubawa ke kantor pos dan kukirimkan sesuai alamat yang tertera.

Kami semua memang diwajibkan berkorespondensi dengan sahabat pena dari Belanda, yang daftarnya diberikan oleh mevrou. Semua dalam bahasa Belanda karena itu adalah pelajaran korespondensi.

Lumayan juga untuk berlatih bahasa Belanda. Paling sulit bahasa Inggris. Karena kurang kesempatan berlatih dan sedikit yang menguasainya.

Nanti kapan-kapan kuminta saja alamat seorang sahabat pena yang berbahasa Inggris.

Keluar sekolah aku mengayuh sepedaku menuju kantor pos yang letaknya tak jauh, tak sampai sekilo. Sesampainya di sana, kuparkir sepeda dan menaiki tangganya. Bangunan khas bergaya Belanda dengan pilar-pilar yang tebal dan atap tinggi. Udara tetap sejuk di dalamnya walau menjelang siang. Walau banyak orang yg beraktivitas di dalamnya. Aku mengantri utk membeli perangko. Di depanku seorang pemuda dengan pakaian sederhana namun rapi. Rambutnya pun tersisir rapi. Bau pomade samar tercium. Di depannya ada seorang ibu-ibu paruh baya berkebaya lengkap dengan selendang dan sanggulnya. Begitu rapi dan anggun. Aku jadi memperhatikan diriku sendiri sesaat, membandingkan dengan ibu itu. Ya, hari ini aku memakai baju kurung yg longgar, kain sarung yg sudah dijahit seperti rok, dan sehelai kerudung. Menurutku sih biasa saja tapi mengapa rasanya seperti ada orang yg memperhatikanku? Rasanya risih. Kuberanikan diri menatap balik orang tersebut, yang berasal dari arah kursi tunggu di samping kanan. Ah, lelaki itu, Hamid! Aku mencemberutkan wajah dan ia tergelak. Lalu ia berjalan mendekatiku dalam antrian.
"Dinda, jgn cemberut nanti berkurang cantiknya." Ia membisiki aku.

"Kanda mengapa tak menegurku tadi" sahutku pelan.

"Ini kan lagi menegurmu.." Senyum manis mengembang.

Ibu- ibu tadi berlalu melintasi kami. Tinggal pemuda di depanku baru giliranku. Hamid menemani berdiri di sampingku. Samar tercium aroma pomade juga.

"Kanda berkirim surat?" Tanyaku.

"Iya, tadi bapak menitip surat dan uang untuk saudaranya di Sanggau. Sudah dikirim tadi, saat kau datang.."

"Kanda ndak bawa sampanlah hari ini?"

"Kan aku di sini, masa bawa sampan.."

Guraunya. Tanganku bergerak ingin mencubitnya tapi gerak tangannya lebih cepat lagi. Yang berakhir dengan tanganku digenggam erat. Aku tersipu. Aku coba menarik untuk melepaskan tanganku tapi semakin erat ia menggenggam. Wajahnya menyembunyikan senyum kemenangan.

Jadi kutundukkan saja kepalaku menatap lantai kayu belian di bawah sana. Dengan tangan kanan tersandera genggamannya. Sampai tiba giliranku dilayani petugas. Aku membeli perangko dalam jumlah banyak, dan Hamid membantuku menempelkan ke setiap pucuk suratnya.

"Banyak sekali surat yg kau kirim ini dinda.." Ujar Hamid.

"Ini surat milik kawan sekelas.
Untuk sahabat pena di Belanda..tugas sekolah kanda..pelajaran korespondensi.." Terangku.

Selesai mengirim surat kami berjalan keluar.

"Dinda sayang..kita minum es cendol di seberang itu yuk?" Ajaknya.

Siapa menolak, hari panas begini memang cocok minum es.
Duduk berdekatan. Kadang bertatapan. Rasanya cendol ini jadi kurang dingin. Karena pipi ini rasa panas tetapi tangan terasa dingin sekali.
Hati ini bersorak gembira karena bisa berduaan dengannya.

Sejak Hamid mengungkapkan perasaannya tempo hari, baru ini kami berjumpa lagi.
Rasanya semangat terisi penuh. Rasanya aku sanggup melakukan apapun dengan hati seriang ini.

"Kau melamunkan apa adindaku?" Tanya Hamid.

"Ndak...ndak melamun apa-apa.." Mana mungkin kujawab kalau aku melamunkan saat ia menyatakan cinta. Kan malu.

"Banyak hal berupa kebetulan sejak kita bertemu.." Kata Hamid.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Tenggelam dan diselamatkan oleh kanda, itu kebetulan. Lalu berjumpa lagi di toko ayah kanda juga kebetulan. Dan hari ini juga kebetulan.." Sambungku.
Gilirannya mengangguk.
"Sepertinya kita memang tak pernah jauh..mungkin sebelum kenal kita pernah juga bertemu secara kebetulan.."katanya.

Aku berupaya mengingat-ingat.

"Entahlah kanda, mungkin juga.." Sahutku.

Lalu ia menatapku lurus-lurus.

"Adindaku sayang..jangan jauh lagi ya..aku menyayangimu.." Demikian katanya.

Aku menatapnya dan tersenyum.

"Tentu ada makna di balik semua kebetulan-kebetulan ini..walau mungkin nanti kita berjauhan..kurasa kita tak kan mampu menolak kenyataan bahwasanya ada kebetulan-kebetulan yang selalu membuat kita dekat.." Uraiku panjang.

Digenggamnya tanganku.
"Aku sayang padamu..adindaku" katanya.

"Aku lebih lagi.." Bisikku.

Hamid tak menyangka jawabanku hingga ia mengernyitkan kening lalu tertawa.

Kurasa aku selalu membuatnya bahagia. Mudah-mudahan kelak aku tak menyusahkannya.

Pontianak, 25 Maret 2018
03.16

Kala rinai hujan mengiringi ketikan..kala hari-hari kulminasi tersapu mendung...tetap saja..inilah titik terdekat matahari ke bumi...inilah kebetulan yang membuat Pontianak istimewa di hati..

************
Pada foto, bagian dalam kantor pos lama. Bangunan peninggalan zaman Belanda. Terletak di area Tanah Seribu. Sekarang bernama area Waterfront (Taman Alun Kapuas).

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now