Bab 1

24.1K 795 34
                                    

"Happy Anniversary, Mas!" seru Karin sesaat setelah pintu terbuka.

Karin tersenyum lebar dengan kue di tangannya. Namun, seketika senyum itu hilang, ketika dia melihatku berdiri di ambang pintu dengan seorang wanita berambut cokelat yang bergelayut manja di lengan. Senyum bahagianya telah berubah dengan raut penuh tanya.

"Mas?" Karin menatapku dan Ayu bergantian.

Aku tersenyum hambar. Mencoba melepaskan tangan Ayu, tapi dia menolaknya.

 
"Aku pulang, Karin," ucapku dengan rasa yang sulit dijelaskan. Kebahagiaan yang sempat kurasakan tiga hari lalu saat berbulan madu kedua bersama Ayu, kini hilang seketika melihat sorot mata Karin yang penuh tanya.

"Apa kita mau berdiri terus di sini, Malik?" tanya Mama dari belakangku dengan suara ketus.

"M–Masuk, Mas," ucap Karin setelah lama dia terdiam menatapku.

Aku berjalan melewati Karin dengan Ayu yang terus saja menempel bak perangko. Kami duduk  di sofa panjang bersama Mama, sedangkan Papa duduk di kursi single.

Aku menoleh pada Karin. Dia masih termenung di dekat pintu dengan kue di tangannya. Ada yang berdenyut nyeri di dalam sini melihatnya seperti itu. Namun, semua sudah terjadi. Bagaimanapun juga, Karin harus bersedia berbagi dan menerima semuanya dengan ikhlas.

"Karin! Sini, Nak!" panggil Papa padanya.

Karin mengangguk, lalu melangkah perlahan mendekati kami. Meletakkan kue hari jadi pernikahan di meja, lalu duduk di sofa yang berseberangan denganku. Tatapan kami beradu. Lewat sorot matanya, dia seakan bertanya siapa wanita yang tak pernah mau berhenti merangkulku.

"Ada apa ini, Mas?" Setelah cukup lama diselimuti keheningan, akhirnya Karin membuka suara.

"Dengar, Karin! Mulai malam ini—"

"Ma!" potong Papa. "Biarkan Malik sendiri yang menjelaskannya pada Karin. Ayo, Malik! Katakan yang sejujurnya tanpa ada yang ditutup-tutupi." Papa menatapku dengan sorot mata tajamnya.

Aku mengangguk, lalu menatap kembali Karin yang semakin terlihat kebingungan.
 

"Karin," panggilku, lalu menelan ludah dan menarik napas dalam-dalam. Segala kata yang sudah kupersiapkan dari awal, seketika lenyap saat melihat raut wajah tak berdosa itu.

Sejahat ini ternyata aku padanya.

"Ada apa, Mas? Mas membuatku takut saja." Karin tertawa kecil. Tawa yang jelas terlihat dipaksakan hanya untuk menyembunyikan perasaannya.

"Ayolah, Mas! Katakan saja yang sebenarnya. Tidak perlu ragu apalagi takut. Atau aku saja yang bilang. Ya?"

"Diamlah, Ayu!" tukasku penuh penekanan.

Ayu mencebik kesal, tapi tak juga melepaskan rangkulannya di lengan. Ditambah lagi, dia dengan sengaja menyandarkan kepalanya di bahu ini.

"Karin ...." Aku menjeda ucapanku untuk kembali menarik napas dalam-dalam. "Ini Ayu, Karin—Madumu," ungkapku pada akhirnya.

Karin terpaku sejenak menatapku, tapi tak lama dia tertawa kecil.

"Mas ini lucu. Mas lagi mengerjaiku, 'kan?" tanyanya di sela tawa kecilnya. "Kalau begitu ... selamat, Mas! Mas berhasil membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya, lalu kembali tertawa.

Aku dan Papa saling melempar pandang. Papa mengisyaratkan dengan matanya agar aku melanjutkan penjelasan tadi.

"Karin ...."
 

"Ya, Mas?" Karin berusaha menghentikan tawanya, lalu kembali tersenyum menatapku. Senyum manis yang dulu membuatku tergila-gila.

"Aku sedang tidak bercanda, Karin. Ayu istri keduaku. Kami sudah menikah tiga hari yang lalu," ungkapku dengan lancar meski ada yang berdenyut nyeri di ulu hati.

Sesal Tak BertepiWhere stories live. Discover now