Part 3

9K 513 54
                                    

"Karin ...."

"Aku mohon, Mas. Pergilah."

Aku terdiam sembari mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes, dan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Tak ingin membuatnya semakin terluka, aku pun bangkit.

Namun, belum sempat turun dari ranjang, suara gedoran di pintu mengejutkan kami berdua. Aku menoleh pada Karin. Dia tersenyum.

"Ayu mencarimu, Mas," lirihnya. "Pergilah. Jangan membuatnya semakin marah!" Karin kembali mengubah posisi tidurnya membelakangiku.

Aku menghela napas berat, mengusap wajah dengan kasar, lalu turun dari ranjang. Gedoran di pintu diiringi teriakan suara cempreng Ayu membuatku menggeram kesal.

Tidak bisakah dia pengertian sedikit? Aku perlu merayu Karin. Perlu memenangkan kembali hatinya yang sedang terluka. Bagaimanapun juga, aku tidak rela jika harus kehilangannya.

Susah payah dulu aku memperjuangkannya untuk menjadi pendamping hidup. Tidak mudah bisa menjadikan Karin yang yatim piatu bisa diterima oleh Mama. Status sosial selalu diutamakan. Tak jarang jika Mama sedang marah, dia sering melontarkan kata-kata yang kasar dan pedas, juga mengungkit masa lalu Karin.
 

Anak buangan.

Anak haram.

Hati ini selalu ikut teriris perih mendengar hinaan itu. Namun, seberapa kuat pun aku berusaha membelanya, Mama selalu berhasil membuat mulut ini bungkam. Menjadikanku seorang pecundang karena tak bisa melindungi dan menjaga hati wanita yang kucinta.

Karin memang sejak bayi tinggal di panti asuhan. Dia tak tahu siapa orangtua atau pun kerabatnya. Karin ditemukan dalam box bayi di depan panti. Aku sudah berjanji akan mengukir sejuta kebahagiaan saat dia menerima lamaranku. Namun, kenyataannya janji itu harus kunodai dengan pengkhianatan.

"Ada apa, sih, tengah malam teriak-teriak begitu? Bisa, 'kan, kamu bicara lebih pelan sedikit?" geramku saat pintu sudah terbuka.

"Mas sendiri yang sudah buat aku marah. Kenapa Mas ada di kamar ini? Pasti Karin, 'kan, yang sengaja menggodamu, Mas?" tudingnya sengit.

"Jaga bicaramu! Karin tidak melakukan itu. Aku yang sengaja datang ke kamarnya," bantahku sembari mendorong tubuhnya yang ingin memaksa masuk.

"Karin! Keluar kamu, Karin! Jangan bersembunyi di bawah selimut! Aku tahu kamu tidak rela atas pernikahan kami, 'kan? Berhenti berpura-pura jadi orang yang paling terluka!"

"Ayu, cukup!" bentakku sampai membuatnya terlonjak kaget. "Jangan pancing kemarahanku dengan ulahmu ini!" tegasku sembari menutup pintu kamar Karin.

"Mas bentak aku?" Ayu menatapku dengan kening berkerut dalam. "Mas tega berteriak padaku hanya untuk membela Karin. Aku juga sekarang istrimu, Mas. Kamu tidak boleh pilih kasih," lirihnya mulai terisak.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Merengkuh tubuh Ayu ke dalam pelukkan.

"Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Sudah. Jangan menangis lagi!" bujukku sembari mengusap-usap kepalanya.

"Apa pelayanan yang kuberikan masih kurang, Mas? Apa aku tidak sebanding dengan istri pertamamu itu?"

"Jangan berkata seperti itu, Ayu! Tidak baik. Sekarang, kalian berdua sama pentingnya untukku. Kumohon ... mengertilah sedikit. Karin juga istriku. Saat ini dia sedang terluka. Wajar jika aku ingin menghiburnya."

"Tapi, Mas—"

"Ssstt, sudah. Jangan mendebatku lagi!"

"Ada apa ini?"

Sesal Tak Bertepiحيث تعيش القصص. اكتشف الآن