Part 17

11.2K 701 38
                                    

Aku berjalan lesu ke kamar lalu menghempaskan punggung di kasur. Tertegun memandang langit-langit kamar dengan pikiran yang melayang jauh. Dalam waktu singkat, aku sudah kehilangan dua istri sekaligus.

"Well, aku harus belajar melupakan mereka. Tak pantas para pengkhianat itu terus mengganggu pikiranku," gumamku pada diri sendiri lalu beranjak mendekati lemari untuk mengambil baju ganti dan bersiap tidur.

Mas ... Mas Malik.

Mas ....

Aku terperanjat bangun dan langsung menyalakan lampu tidur di atas nakas. Memindai ke sekeliling kamar demi mencari asal suara. Kosong. Kamar ini sepi dan hampa sejak ditinggal ratunya.

Jelas-jelas tadi aku seperti mendengar suara Karin berbisik memanggil, tapi tidak ada. Lagi-lagi ini hanya cuma mimpi. Kenapa bayangan Karin terus menggangguku seperti ini?

"Aarrgh!" Aku mengacak-acak rambut kesal.

Susah sekali untuk melupakannya. Sekuat apa pun berusaha menyangkal perasaan ini, kenyataannya cintaku pada Karin masih sangat besar dan ini sangat menyakitkan. Terlebih lagi jika yang hanya mencintai itu adalah aku karena Karin mungkin sudah bahagia dengan pasangan barunya.

🌸🌸🌸

Keesokan paginya meja makan masih kosong. Aku berinisiatif pergi keluar untuk membeli makanan lalu mengajak Papa sarapan bersama. Tak ada percakapan di antara kami. Baik Papa atau aku, kami sama-sama diam menikmati sarapan dalam suasana canggung.

"Mama mana, Pah? Tidak sarapan?" tanyaku untuk memecah kebekuan di antara kami.

"Di kamar. Biarkan saja dulu. Nanti juga kalau lapar pasti keluar," sahut Papa tanpa menatapku.

"Pah," panggilku ragu.

Papa hanya melihatku sekilas, lalu kembali menatap piring di hadapannya.

"Papa marah dengan keputusanku yang menceraikan Ayu?"

Gerakan Papa yang hendak menyuap terhenti sejenak, tapi tak lama beliau kembali makan dengan santai.

"Apa pun keputusanmu, Papa tidak bisa memaksamu untuk membatalkan perceraian atau pun melanjutkan pernikahan kalian. Kamu sudah dewasa, pasti tahu mana yang terbaik. Apa pun yang terjadi dalam rumah tangga dan kehidupanmu, itu sepenuhnya tanggung jawab kamu sendiri, Malik. Papa hanya bisa menasihati. Pikirkan segala sesuatu dengan kepala dingin sebelum mengambil sebuah keputusan. Papa juga sudah mengatakan itu sesaat sebelum kamu mentalak Karin, tapi kamu tidak mau mendengar." Papa berhenti sejenak untuk meneguk segelas air putih, lalu kembali menatapku dengan serius.

"Kamu mau tahu pendapat Papa tentang kejadian Karin malam itu?"

Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk.

"Papa juga memang tidak terlalu menyukainya, meski tak separah mamamu. Akan tetapi ... entah kenapa Papa yakin kalau Karin tidak mungkin melakukan hal serendah itu, Malik. Selama ini, Papa selalu memperhatikan gerak-geriknya yang sopan dan lembut. Papa tidak percaya jika Karin mengkhianatimu seperti itu."

"Tapi buktinya sudah di depan mata, Pah. Papa lihat sendiri, 'kan, foto-foto dan riwayat chat mereka? Bahkan Karin juga menjelek-jelekkanku pada pria sialan itu!" debatku tak mau kalah.

Papa hanya tersenyum dan menggeleng. "Tekhnologi itu semakin maju, Malik. Foto bisa diedit, begitu juga dengan chat palsu. Harusnya kamu lebih pintar dari papa yang tua ini. Selidiki dulu dengan baik sebelum menghakimi. Yaa, tapi mau bagaimana lagi? Papa juga tidak bisa melakukan apa-apa. Kamu yang berstatus suaminya saja tidak percaya," tutur Papa, lalu mengelap mulut dengan tisu dan berdiri. "Semoga saja ini jalan yang terbaik untuk kalian berdua," imbuhnya lagi, kemudian berlalu pergi.

Sesal Tak BertepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang