Part 11

7.5K 495 33
                                    

Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal.

Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci.

Apa Karin lupa?

Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur.

Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini.

Aku berlari kecil menuju kamar Karin dengan menyunggingkan senyum tipis. Namun, senyum ini langsung lenyap saat samar-samar terdengar erangan kecil dari dalam sana. Dengan cepat kudorong pintu yang memang sedikit terbuka. Mataku seketika membelalak kaget saat melihat pemandangan di depan mata.

Di depan sana, seseorang tengah memeluk Karin erat hingga punggung prianya saja yang terlihat. Dengan dada bergemuruh hebat dan jantung yang berdetak cepat, aku berlari, lalu menarik kerah kemeja pria itu dari belakang dan menghantam wajahnya sekuat tenaga. Hingga akhirnya, pria itu terhuyung beberapa langkah.

Aku menoleh tajam pada Karin. Dia menitikkan air mata dengan pakaiannya yang sudah terbuka di bagian resleting depan. Bahkan, hijab sudah tak lagi melekat menutupi kepalanya.

"Kurang ajar! Siapa kamu berani menyentuh istriku?" Aku kembali maju dan berhasil menendangnya penuh emosi hingga pria tersebut tersungkur ke lantai. Setelahnya, aku naik ke atas tubuh pria itu, lalu memukuli wajahnya bertubi-tubi.

Sayang, pria itu melakukan perlawanan. Dia mendorong tubuhku dan balik menendang hingga aku terjengkang.

"Aku kekasihnya! Apa dia tidak pernah memberitahumu?" Pria muda itu menyunggingkan senyum miring sembari menyeka darah dari hidungnya.

Aku menoleh pada Karin yang langsung menggeleng cepat dengan kedua tangannya gemetar di depan dada.

"Jangan sembarangan bicara kamu! Kamu pikir aku akan percaya omong kosong itu, huh?" Aku hampir berhasil memukul wajahnya lagi, tapi dia mengelak.

Pertarungan sengit kembali terjadi. Kami saling memukul dan menendang tanpa mempedulikan Karin yang berteriak ketakutan dan meminta kami untuk berhenti.

🌺🌺🌺

"Cukup, Malik!"

Tanganku yang hendak meninju kembali wajah pria itu, langsung terhenti di udara saat mendengar teriakan Papa.

"Ada apa ini?"

Aku bangun dari tubuhnya dengan emosi yang masih menggebu-gebu hingga kepala dan wajahku terasa panas.

Sesal Tak BertepiWhere stories live. Discover now