Part 20

12.8K 718 26
                                    

Sepanjang perjalanan, aku banyak merenung dan itu membuat Papa marah. Akhirnya, mau tak mau Papa menggantikan posisi menyetir karena tidak mau mengambil risiko. Entahlah. Perasaanku mendadak tidak tenang dan gelisah. Bahkan, jantung ini dari tadi berdebar tidak karuan.

Pikiranku terpaut pada keberadaan Karin sekarang. Di mana dia? Sedang apa? Apa dia juga merindukanku seperti aku merindukannya sekarang?

Maafkan aku, Karin. Aku menyesal atas semuanya.

"Kenapa kamu nangis?"

"Tidak apa-apa, Pah," jawabku dengan suara sedikit serak, lalu menyeka air mata dan memalingkan wajah.

Aku terlalu hanyut memikirkan tentang keberadaan Karin. Hingga tanpa sadar, mobil yang dikemudikan Papa sudah sampai di parkiran rumah sakit. Dalam hati, aku terus bertanya tujuan Papa membawaku kemari. Terlebih lagi melihat banyaknya orang dan beberapa wartawan.

Dari samar-samar percakapan yang kudengar, ternyata mereka anggota keluarga dari korban kapal yang sedang menunggu proses identifikasi korban meninggal.

Deg!

Kenapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang seperti ini saat teringat berita itu?

"Ayo, Malik!" Papa menepuk pundakku karena sempat berhenti melangkah sejenak.

"Kenapa kita ke sini, Pah? Apa teman Papa termasuk korban dari kecelakaan itu?"

Papa terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kamu akan tahu sebentar lagi. Ayo!" ajaknya sembari merangkul bahuku.

Kuhela napas panjang, lalu mengikuti Papa yang menuntunku meninggalkan parkiran. Siapa tahu memang keluarga dari teman Papa termasuk korban dan Papa berniat menghiburnya.

Kuamati Papa yang berjalan cepat di depan. Mendadak berkeringat dingin saat melihat beberapa anggota keluarga korban tengah menangis karena keluarganya belum ditemukan sampai sekarang. Aku menelan ludah dan tanpa sadar meremas fotoku bersama Karin sembari berjalan gontai melewati mereka.

Aku menatap ke sekeliling ruangan yang memang disediakan khusus oleh pihak rumah sakit. Ada yang sedang mencocokan data, ada juga yang tengah panik dan menangis karena belum mendapat kepastian tentang keberadaan keluarganya.

"Malik."

Aku yang sempat tertegun memandang orang-orang di sini, tersentak kaget saat Papa menepuk pundak.

"Siapkan mentalmu."

Deg!

Apa maksudnya Papa berkata seperti itu? Siapkan mental untuk apa?

"Kami dari keluarganya Karin Naila Maheswari."

Aku tercengang mendengar Papa menyebut nama wanita yang masih bertahta di hati ini. Seketika dada bergemuruh hebat. Aku memandang bingung Papa dan petugas itu bergantian, lalu berjalan perlahan mendekati meja. Detak jantung seakan berhenti sepersekian detik saat samar melihat nama Karin tertulis di deretan daftar penumpang kapal tersebut.

Sesal Tak BertepiWhere stories live. Discover now