Part 10

9K 459 26
                                    

Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan.

Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?"

"Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?"

Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?"

"Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar.

Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.

Apa yang harus kukatakan pada Karin?

Aku melirik meja makan. Sarapan sudah tersaji rapi, tapi tak terlihat Karin ada di sini. Aku melangkah cepat sambil sesekali membuang napas pelan demi mengontrol rasa gugup.

Kubuka knop pintu dengan perlahan. Karin tengah berdiri membelakangi sembari menyiapkan pakaian kerja. Rasa sesal dan perasaan bersalah ini semakin mengungkung hati. Rasanya, aku tidak berani mendekat dan menunjukkan wajahku padanya.

Aku masih berdiri di ambang pintu dengan perasaan tak karuan. Hingga akhirnya, suara Karin menyentakku dari lamunan.

"Masuk, Mas. Aku bukan hewan buas, kok," kelakarnya masih dengan posisi sama.

Aku berdehem pelan, lalu melangkah ragu. Duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar-debar. Kutatap wajah tenang Karin sambil menelan ludah, tapi dia malah balas menatapku lembut dengan senyumannya.

"Mas udah wangi dan segar, ya," celetuknya yang membuatku spontan meremas sprei saat merasakan sesuatu berdenyut nyeri di dalam dada. "Ganti pakaian dulu, Mas. Habis itu sarapan." Karin menyodorkan pakaian kerjaku yang sudah rapi disetrikanya.

Aku mengangguk pelan, lalu dengan lesu berjalan menuju kamar mandi. Sesaat sebelum pintu ditutup, aku melirik kembali pada Karin. Dia tengah bersenandung selawat sambil menyibak tirai.

Aroma kopi menguar tercium di indera penciuman saat aku membuka pintu kamar mandi. Karin tersenyum, lalu menuntunku ke kursi meja rias dan memberikan secangkir kopi kesukaan.

"Terima kasih," ucapku dengan senyum canggung.

Karin mengangguk. Dia hendak pergi, tapi langsung kucekal pergelangan tangannya.

"Bantu aku pasang dasi, ya," pintaku beralasan.

Karin sempat terdiam sejenak, tapi akhirnya tetap menuruti permintaan itu. Kutatap lekat wajah tenangnya yang menyunggingkan seulas senyum tipis. Karin tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan, dia seperti menghindari kontak mata denganku.

Sesal Tak BertepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang