Bab 2

11.2K 637 51
                                    

Semudah inikah pria terlena dengan sesuatu yang baru? Atau hanya aku sendirilah yang kurang bersyukur dan cepat tergoda dengan harum bunga lainnya?

Beberapa waktu yang lalu, aku sempat lupa dengan air mata Karin ketika deru napas dan detak jantungku berpacu cepat di kamar tamu ini. Terlena dengan kepuasan dan kenikmatan sampai lupa ada yang terluka di kamar lain. Wanita yang mungkin tengah memeluk guling seorang diri dengan hatinya yang hancur berkeping-keping.

Mata ini terbuka perlahan. Kuhela napas saat menyadari siapa yang tengah berada di pelukan. Bagaimanapun juga, sebuah keputusan sudah diambil. Ayu kini istri sahku juga secara agama. Aku akan berusaha adil untuk keduanya. Meskipun, memang ini tidaklah mudah.

Kulepaskan tangan Ayu yang melingkar di pinggang dengan perlahan. Dia tertidur pulas setelah permainan panas kami yang cukup menguras tenaga. Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Satu jam tertidur cukup membuat rasa lelah ini berkurang.

Kusibak selimut, lalu turun perlahan dari ranjang. Memunguti pakaian yang tergeletak di lantai dan pergi ke kamar mandi. Guyuran air hangat dari shower cukup menyegarkan pikiranku yang sempat kalut.

Di satu sisi, aku masih sangat mencintai Karin. Namun di sisi lain, rasa untuk Ayu mulai hadir setelah ijab kabul terucap dan melewati beberapa malam bersamanya. Meskipun, Ayu memang sudah tidak virgin saat kami menikah.

Aku keluar dari kamar tamu, lalu menutup pintunya dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara. Aku teringat dengan kue yang disiapkan Karin tadi—kue ulang tahun pernikahan kami yang keempat.

Bukannya kado spesial yang kuberikan untuknya, tapi justru sebuah kejutan luar biasa. Kejutan yang tak hanya meluluhlantakkan hati, tapi juga kepercayaannya. Demi menuruti permintaan Ibu menikahi Ayu, aku terpaksa berbohong pada Karin. Berkata akan melakukan tugas luar kota selama tiga hari, kenyataannya malah menikah diam-diam.

Mataku celingukan mencari kue tart di ruang keluarga. Jejak nodanya ada yang tertempel di meja, tapi kuenya tidak ada. Kuputuskan mencarinya ke dapur karena yakin Karin pasti menyimpannya di dalam kulkas.

Namun, ternyata dugaan itu salah. Baik di lemari dapur atau pun kulkas, kue itu tetap tidak ada. Ketika aku baru saja hendak beranjak pergi dari sana, fokus mata ini teralihkan noda kue yang menempel di kotak sampah di kolong wastafel. Benar saja. Kue perayaan hari jadi pernikahan kami sudah teronggok di dalamnya.

Aku berjongkok. Hati ini kembali berdenyut nyeri melihat kue itu sudah hancur di tempat sampah. Sama hancurnya dengan hati wanita yang sudah menyiapkan kejutan demi menyambut kepulanganku.

Aku terduduk di lantai dapur sembari menunduk lesu dan memijat pelipis. Ingin mundur pun tak bisa. Nasi sudah menjadi bubur. Seandainya saja aku bisa lebih tegas menolak permintaan Mama.

Aku bergegas pergi dengan langkah cepat menuju kamar Karin dan memutar knop pintu dengan perlahan. Senyum ini merekah saat mendapati pintu kamar ini tidak dikunci. Dengan hati-hati, kututup kembali pintu dan menguncinya.
 

Masih dengan senyuman, aku mengendap masuk yang lampunya temaram. Sayang, senyum ini seketika lenyap saat melihat Karin tengah meringkuk di atas sajadahnya masih dengan memakai mukena. Hati seperti diremas-remas. Sakit, tapi aku berusaha mengontrolnya.

Kudekati Karin, lalu berjongkok di hadapannya. Jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya. Tasbih kecil hitam pun masih berada dalam genggaman.

Inikah caranya dia meluapkan segala rasa sakit?

Karin tak punya siapa-siapa. Dia hanya bisa mengadu langsung kepada-Nya—Sang Maha Penguasa Hati. Mengadukanku yang pernah berjanji setia, tapi akhirnya mendua.

Sesal Tak BertepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang