Part 21

12.9K 772 70
                                    

Bu Wati dibopong para anak panti remaja, lalu dibawa masuk ke dalam. Sementara, Bu Ikah membantuku yang lemas supaya kembali berdiri dan memapahku.

Aku masih menangis tertunduk di sofa. Sementara, para anak panti tengah mencoba menyadarkan ibu asuh mereka.

"Diminum dulu, biar tenang."

Aku menoleh. Bu Ikah dengan senyum ramahnya menyodorkan secangkir teh hangat.

"Terima kasih," ucapku lirih.

Bu Ikah mengangguk, lalu duduk di sampingku. "Lalu bagaimana dengan jenazah Karin sekarang? Apa sudah ketemu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Ah, iya. Aku belum sempat mendengarkan seutuhnya penjelasan petugas itu tentang jenazah Karin. Saking syok dan tidak percaya, aku sudah lebih dulu menyangkal sebelum mereka menjelaskan secara rinci.

"Saya belum tahu, Bu. Tadi keburu syok duluan sewaktu mendengar kabar itu," jawabku sembari menyeka air mata yang tidak mau berhenti menetes.

Aku merogoh ponsel di saku celana saat merasakan getarannya. Ada panggilan masuk dari Papa.

"Ya, Pah?" ucapku serak dan parau.

"Papa sudah pulang ke rumah. Kamu cepatlah ke sini. Masih ada yang harus kamu ketahui tentang Karin."

"Iya, Pah. Aku ... pulang sekarang," ucapku tak bersemangat, lalu mematikan sambungan. "Bu, saya pamit pulang dulu. Masih harus mencari tahu tentang kelanjutan berita ini." Aku menunduk, menyeka air mata karena tak kuasa menahan tangis setiap kali teringat Karin sudah tidak ada.

"Iya, Nak. Nanti tolong kabari kami, ya," kata Bu Ikah sembari menyeka air matanya.

"Iya, nanti saya telepon lagi. Maaf sudah membuat Bu Wati syok dan pingsan." 

"Tidak apa-apa. Beliau sudah menganggap Karin seperti putrinya sendiri. Wajar beliau seperti itu karena syok mendengar kabar ini. InsyaAllah sebentar lagi siuman."

"Kalau begitu, saya pamit, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati!"

Aku mengangguk, berjalan lunglai keluar panti dengan air mata yang terus saja luruh membasahi pipi. Aku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, memandang tempat di mana Karin dibesarkan dari sejak bayi.

"Karin ...."

Aku mengusap kasar air mata, lalu kembali melanjutkan langkah dan menghentikan taksi. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam memandang keluar jendela dengan pikiran menerawang jauh. Memikirkan waktu-waktu indahku bersama Karin dulu.

Sungguh, rasa sesal ini sangat menyiksa. Sesal yang takkan bertepi. Untuk meminta maaf pun aku sudah tidak punya kesempatan. Karin telah pergi untuk selama-lamanya. Dia tidak akan pernah kembali padaku.

Sesal Tak BertepiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin