Part 7

7.2K 484 22
                                    

Mari kita bercerai, Mas.

Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.

Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai.

"Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya.

"Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.

Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil.

"Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyaku dingin. Mengatupkan rahang dengan keras sembari mengepalkan tangan di samping badan.

Karin tersenyum dan menggeleng.

"Justru aku melakukan ini karena aku mencintaimu, Mas. Level tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Aku ikhlas Mas menjadi milik Ayu seutuhnya."

"Kamu meragukan kemampuanku untuk berbuat adil, hm?" tanyaku dengan kening berkerut dalam. "Mungkin perasaan ini memang tidak bisa dibagi dengan adil karena pasti akan lebih condong pada salah satu. Kamu tahu siapa itu? Kamu, Karin. Perasaanku lebih condong padamu meskipun rasaku pada Ayu mulai tumbuh." Sesuatu yang ingin kusembunyikan akhirnya terucap juga.

Aku menelan ludah. Tersadar dengan kata-kata yang baru saja terucap dari mulut. Kata-kata yang akan membuat hatinya semakin sakit. Namun, untuk menariknya kembali pun tidak mungkin.

"Meskipun perasaanku tidak bisa dibagi rata, tapi dalam hal lainnya aku akan berusaha adil pada kalian berdua termasuk dalam membagi waktu. Apa kamu meragukan itu?" tanyaku pelan, tapi penuh penekanan.

"Aku tahu, Mas. Aku hanya tidak ingin kamu menjadi suami yang dzalim. Tidak ada manusia yang bisa adil seadil-adilnya kecuali nabi. Aku takut tidak bisa ikhlas sepenuhnya dengan ketidakadilanmu."

"Jangan khawatirkan itu! Aku akan membagi harta, waktu, pakaian dan lain sebagainya dengan adil, kecuali perasaan ini." Aku menunjuk dada sebelah kiri.

"Apa Mas yakin? Tidakkah Mas menyadarinya kalau Mas lebih condong pada Ayu? Hanya baru beberapa hari berpoligami, tapi Mas sudah menunjukkan ketidakadilan itu."

Aku bungkam. Benarkah aku lebih condong pada Ayu? Tapi kurasa tidak. Semua masih dalam batas normal.

"Perceraian memang dibenci, tapi itu lebih baik daripada terus menghadirkan pertikaian dan kedzaliman di dalam rumah tangganya," ucapnya dengan raut wajah tenang. Terlalu tenang sampai aku merasa terancam dengan ekspresinya.

Mungkinkah Karin tidak mencintaiku lagi? Kenapa dia tidak menunjukkan sedikit pun raut sedih seperti kemarin? Atau ... jangan-jangan dia sudah memiliki pria lain makanya berani meminta cerai?

Sesal Tak BertepiWhere stories live. Discover now