Part 6

7.7K 519 34
                                    

Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah.

"Hati-hati," ucapku saat membantunya turun.

"Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.

Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"

Karin tersenyum dan mengangguk.

Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.

Ke mana semua orang?

Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun aku bersikeras ingin salat di rumah saja. Takut tiba-tiba Karin pingsan. Namun, karena terus dipaksa, akhirnya dengan sedikit terpaksa aku pun menurut.

Tak berselang lama, aku sudah kembali pulang. Melangkah cepat memasuki halaman sembari menyugar rambut. Namun, baru saja membuka pintu dan mengucap salam, aku terkesiap saat mendengar suara lantang Mama di kamar atas.

Apa lagi kalau bukan sedang memarahi Karin?

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menaiki tangga. Melesat masuk ke dalam kamar Karin yang pintunya terbuka lebar. Aku terkejut saat melihat Mama hampir melayangkan tamparan padanya. Beruntung, ayunan tangan Mama terhenti di udara saat mendengar aku berteriak.

"Apa yang Mama lakukan? Kenapa Mama mau memukul Karin?" Aku berjalan cepat dengan kening berkerut dalam dan sorot mata tajam.

"Kenapa kamu melotot begitu pada Mama? Kamu mau jadi anak durhaka, huh? Mau mama sumpahin kamu?" Mama balik membentak dengan mata melotot tajam.

Aku mengusap wajah kasar sembari menggumamkan kata istighfar dalam hati berkali-kali.

"Bukan begitu, Ma. Aku tadi bertanya baik-baik. Kenapa Mama mau memukul Karin? Apa salahnya?"

"Karena dia sudah kurang ajar pada Mama!"

"Kurang ajar bagaimana, sih? Selama ini Karin selalu sopan dan diam saja biarpun Mama memakinya," belaku.

"Halah! Terus saja kamu belain dia. Apa, sih, bagusnya anak buangan ini?"

"Ma ... please," ucapku dengan penuh penekanan. "Karin lagi sakit. Dokter bilang dia tidak boleh lelah dan stres. Tolong, jangan menambah beban pikirannya lagi!" bujukku dengan wajah memelas.

"Maksud kamu ... mama itu jadi beban untuk kalian, begitu? Kamu lupa siapa yang membuatmu sampai sesukses ini, huh?! Mama, Malik! Mama! Bukan anak miskin ini!" hardiknya sembari menunjuk tepat di wajah Karin.

Sesal Tak BertepiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ