Part 14

8.1K 453 22
                                    

Aku terperanjat bangun ke posisi duduk dengan napas terengah. Bahkan, rasa sakit itu masih terasa begitu nyata di dalam sini. Air mata pun masih ada jejaknya di pipi.

"Kenapa mimpinya begitu terasa nyata?" gumamku sembari mengusap air mata. "Apa maksudnya mimpi tadi? Apa Karin baik-baik saja?"

Aku menggeleng cepat, berupaya mengenyahkan segala pikiran buruk yang melintas.

Aku harus bisa melupakan Karin, tapi kenapa di sini sangat terasa sakit? Seolah Karin tidak akan pernah kembali. Lalu, siapa anak yang dituntunnya tadi? Apa itu anak dari selingkuhannya itu?"

"Aaargh!"

Aku Mengacak-acak rambut frustasi, lalu beranjak turun dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Membasuh wajah dan tertegun menatap diri di cermin besar.

Tiba-tiba saja seolah aku melihat bayanganku yang pernah menggoda Karin di kamar mandi ini. Tanpa sadar, kedua sudut bibir ini terangkat naik mendengar tawa renyah itu.

Namun, seketika itu juga senyumku lenyap saat sadar ini hanyalah khayalan saja. Aku memukul-mukul kepala sendiri. Merutuki diri yang tak mampu melupakannya sedetik pun.

Aku melangkah malas ke dapur untuk mengambil air minum. Siapa tahu air dingin bisa sedikit menenangkan hati dan pikiran karena mimpi barusan. Kuteguk satu minuman kaleng.

Namun, lagi-lagi hadirnya bayangan kebersamaan kami membuatku menoleh. Di dekat kompor, bayangan aku yang tengah memeluk Karin dari belakang sambil menggodanya membuat tanganku menggenggam kuat kaleng minuman. 

"Sialan!" Aku melempar kaleng minuman pada bayangan itu dan akhirnya hilang. "Kenapa kamu masih saja menggangguku, Karin?" gerutuku frustasi. Menunduk dengan kedua siku tangan bertumpu pada meja.

Aku kembali teringat pada ucapan Karin di mimpi tadi yang berkata, 'Aku selalu mencintaimu, Mas. Tolong ... percayalah padaku.'

Aku jatuh terduduk di lantai, menopang kepala dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut.

"Kenapa harus berpisah dengan cara seperti ini, Karin? Sakit, rasanya sakit saat melihatmu berada di pelukan laki-laki lain."

Aku tidak pernah mengkhianatimu, Mas. Tidak pernah. Sampai detik ini, hanya kamu satu-satunya pemilik hatiku.

Aku kembali mendongak dengan bola mata bergerak-gerak gelisah memindai bawah meja. Sesuatu yang baru saja melintas di kepala, membuat jantung ini seketika berdetak cepat.

Bagaimana jika yang dikatakan Karin itu benar? Bagaimana jika ini memang fitnah dan jebakan dari ... Mama?

Perlahan aku berdiri. Napas mulai memburu, detak jantung pun mulai semakin tidak normal.

Apa yang harus kulakukan? Jika benar Karin difitnah, itu artinya aku sudah berbuat dosa dan tidak adil terhadapnya.

Air mata menetes begitu saja saat hati ini berdenyut nyeri. Tangan kananku terangkat perlahan, menatap telapaknya dengan pandangan buram karena air mata.

Aku ... bahkan sudah memukul wajahnya.

"Aargh!" Kujatuhkan tempat sendok dan garpu dari atas meja karena emosi.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berjalan cepat menuju kamar Mama dan menggedor pintunya kencang.

"Ma! Buka, Ma! Aku mau bicara!" teriakku dengan emosi tertahan di dada.

Tak butuh waktu lama untuk Mama membuka pintu dan berdiri di hadapanku. Mama menatap dengan kening berkerut sambil sesekali mengucek mata.

"Ada apa, sih, kamu ini? Kenapa gedor-gedor pintu kamar seperti itu? Memangnya ada maling?" tanyanya keheranan.

Sesal Tak BertepiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ