Part 8

7.8K 480 22
                                    

Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.

Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur.

"Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya."

"Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah.

"Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik."

"Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ada hubungan apa-apa, tapi memeluk erat seperti tadi!" kataku pelan, tapi penuh penekanan.

"Itu ... itu tadi karena takut jatuh saja, Mas," jawabnya dengan gestur gugup.

"Sudahlah. Untuk malam ini aku tidak mau membahasnya lagi. Tapi bukan berarti urusan kita selesai!" tegasku, lalu menggeser tubuhnya. Melangkah cepat dan lebar menuju kamar Karin.

"Mas nanti tidur di kamarku, 'kan?" Pertanyaan Ayu membuat langkahku kembali terhenti di anak tangga teratas, lalu berbalik menghadapnya.

"Untuk malam ini sampai tiga malam berikutnya, giliran aku bersama Karin. Paham?" tukasku dingin, lalu pergi meninggalkan Ayu dengan gerundelan dan wajahnya yang ditekuk.

Kubuka pintu kamar Karin dengan cepat, menutupnya kembali dengan sedikit kasar, lalu menguncinya. Saat melangkah lebih jauh ke dalam, Karin terlihat tengah duduk di ranjang sambil mengucek mata. Mungkin dia terbangun saat mendengar pintu ditutup terlalu kencang.

"Aku mengganggu tidurmu, ya," ucapku sambil tersenyum tipis.

Karin terkesiap kaget melihatku pulang dalam keadaan babak belur. Matanya membulat sempurna dan langsung turun dari ranjang menghampiriku. Tanpa banyak kata, Karin langsung menuntunku untuk duduk di tepi ranjang.

Wajahku yang terkena bogem mentah dari Aldi itu masih berdenyut nyeri. Andai Ayu tidak menghalangi, sudah pasti aku akan memberikan balasan yang lebih dari ini. Tidak mungkin Ayu panik kalau memang tidak menyembunyikan sesuatu.

"Mas." Sentuhan jemari lentik Karin di pipi menyentakku dari lamunan. Bola matanya bergerak-gerak gelisah memindai wajah ini. Menatapku penuh kekhawatiran.

"Mas kenapa bisa sampai babak belur begini? Berkelahi dengan siapa?" tanyanya lembut.

Ah, sudah disakiti pun dia tetap tidak mengurangi kasih sayangnya padaku.

Karin hendak menarik tangannya dari pipi, tapi kutahan. Kupejamkan mata untuk menikmati sentuhan lembut telapak tangannya.

Sesal Tak BertepiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang