Part 18

11.8K 686 31
                                    

Mamamu ....

Cengkeraman tanganku di kerahnya seketika terlepas dan jatuh terduduk. Lemas. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.

"Kamu ... bercanda, 'kan?"

 
"Untuk apa aku bercanda?" Pria itu menyeka matanya yang berair. "Aku jujur karena aku menyesal atas kejahatanku itu. Aku telah menyakiti wanita yang tidak berdosa."

"Kamu pasti lagi coba memfitnah mamaku, 'kan? Mengaku saja! Apa Karin yang menyuruhmu melakukan ini, huh?!"

Pria itu tersenyum miris, lalu menggeleng. "Bukan sepenuhnya salahku kalau kamu sampai kehilangan istrimu. Tapi kamu sendiri yang gampang terbawa emosi dan tidak bisa percaya sedikit pun padanya."

"Tutup mulutmu! Mamaku tidak mungkin sejahat itu!" desisku tak terima. "Kamu sendiri yang sudah menunjukkan foto-foto dan chat mesra kalian!"

"Itu semua editan."

"Aku tidak percaya!" geramku, mencoba menyangkal kenyataan di depan mata.

"Kamu mau lihat bukti? Aku punya buktinya." Pria itu merogoh ponsel dari saku celana, mengutak-atiknya, lalu menyerahkan ponsel itu padaku. "Bacalah dan kamu akan tahu kebenarannya."

Dengan ragu kuambil alih ponsel miliknya, kemudian menggeser sedikit demi sedikit setiap chat mereka. Tanganku yang memegang ponsel kembali gemetar seiring gemuruh di dada.

Jelas di sana keduanya membicarakan rencana penjebakan Karin. Bahkan, Mama dengan sengaja memberikan kunci cadangan pintu belakang dengan menjanjikan bayaran mahal untuknya jika rencana berhasil.

"Bisa saja ini juga editan yang kamu lakukan untuk menipuku!" desisku dengan suara bergetar, menahan rasa kecewa sekaligus marah.

"Aku bersumpah! Kali ini aku jujur," sahutnya cepat. "Beberapa hari ini, aku selalu mimpi buruk. Wajah istrimu yang sedang menangis sering datang di mimpi dan itu membuatku tidak bisa tenang. Aku merasa sangat berdosa."

Pria itu menunduk dan terisak pelan. Tak berselang lama, dia kembali menatapku dengan matanya yang memerah. Merogoh sesuatu dari saku jaketnya, lalu menyodorkan amplop cokelat kecil.

"Apa itu?"

"Ambillah! Ini uang bayaran dari mamamu. Berikan kembali padanya. Aku tidak mau membiayai pengobatan ibu dan adik-adikku dengan uang haram."

Aku termenung menatap amplop di tangan pria itu.

Jadi, ini semua benar? Karin difitnah dan aku ... aku percaya hal itu begitu saja.

Aku terdiam dengan hati berdenyut sakit. Bayangan kelam malam itu kembali hadir bak cuplikan film di kepala. Mata semakin memanas dan perih hingga tanpa terasa, ada yang menetes begitu saja di pipi.

"Karin ...." Aku memandang telapak tangan kanan yang gemetar. Tangan inilah yang pernah menampar wajahnya dengan sangat keras, tapi Karin tidak menangis.

"Karin," lirihku dengan air mata mulai menetes deras tak tertahan.

"Maaf. Aku sungguh menyesal." Pria itu meletakkan amplop cokelat di hadapanku, lalu berdiri. "Semoga kamu belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Aku ingin minta maaf langsung pada istrimu kalau kamu mengizinkan."

Aku tertawa kecil sambil menangis. "Istriku ... dia sudah pergi. Aku ... mengusirnya." Aku menunduk sembari meremas-remas rambut dengan frustasi.

"Tolong ... jangan masukkan aku ke penjara. Aku harus merawat ibu dan adik-adikku karena Ayah sudah tiada. Kamu bisa menyiksaku sepuasmu asal kesalahanku ini dimaafkan," pintanya masih dengan posisi berdiri. "Ini kartu namaku." Dia meletakkan secarik kartu nama di atas amplop. "Ada alamat tempat kerja di mana aku bertugas sebagai security. Kamu bisa datang kapan saja jika ingin melampiaskan amarahmu lagi."

Sesal Tak BertepiWhere stories live. Discover now