"Cepat kamu ke kamar Ayu!" Mama langsung menarik tanganku begitu saja keluar dari kamar Karin.

"Tidak bisa, Ma. Malam ini giliranku bersama Karin. Aku harus adil, Ma. Aku tidak mau jadi suami dzalim," tolakku sembari melepaskan cekalan tangannya.

"Tapi ini situasinya beda, Malik." Mama menatap tajam.

"Beda bagaimana, sih, Ma?" desahku frustasi. "Harusnya Mama tahu kalau aku—"

"Ayu pingsan, Malik!" potongnya yang sontak membuatku kaget.

"Ayu pingsan?" ulangku dengan jantung berdetak sedikit lebih cepat.

"Iya, dia masih terbaring di kamar mandinya. Cepat kamu tolong dia!"

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berlari meninggalkan Mama. Menuruni tangga dengan terburu-buru agar cepat sampai di kamar istri keduaku.

🌸🌸🌸

"Ayu," gumamku kaget saat melihatnya terbaring di ambang pintu kamar mandi.

Aku melesat masuk ke dalam kamar dan langsung mengangkat tubuhnya. Membaringkannya dengan perlahan di atas ranjang.

"Ayu, buka matamu, Ay!" Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. "Kamu kenapa, sih, Ay?" gumamku khawatir.

Baru saja hendak pergi mengambil minyak angin, Mama sudah lebih dulu masuk dan memberikan minyak angin itu padaku.

"Ayu kenapa, Ma?" tanyaku sembari mengolesi pelipis juga hidung Ayu dengan minyak angin tersebut.

"Ya, mana Mama tahu. Tadi Mama ke sini hanya mau tanya dia sudah makan malam atau belum. Eh, ternyata Ayu sudah pingsan."

"Astaghfirullah." Aku menepuk kening sendiri. "Mungkin Ayu belum makan, Ma."

"Tuh, 'kan, kamu itu memang tidak adil. Karin saja yang terus kamu perhatikan. Sementara, Ayu sendiri tidak kamu pikirkan sudah makan atau belum."

Aku merutuki diri sendiri. Karena marah atas insiden di luar tadi, aku sampai lupa dengan hal itu. Mungkin saja Ayu belum makan dari sepulang kerja tadi karena ditinggal ke rumah sakit.

"Ayu," gumamku saat melihatnya perlahan membuka mata. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar." Aku mengusap kepalanya lembut.

"Ya sudah, kamu rawat Ayu dulu. Mama mau kembali ke kamar," katanya, kemudian berlalu pergi.

"Kamu kenapa, Ay?" tanyaku khawatir sembari membantunya untuk duduk bersandar kepala ranjang.

"Kepalaku tahu-tahu pusing, Mas. Mungkin kebanyakan nangis tadi," lirihnya pelan.

"Yaa, lagian kenapa kamu nangis terus?" tanyaku sembari merapikan anak rambutnya yang menutupi wajah.

"Habisnya Mas marah-marah terus. Padahal, aku tidak salah apa-apa. Aku sungguh tidak ada hubungan apa-apa dengan Aldi, Mas. Aku tadi hanya takut jatuh dari motor saja." Ayu terisak sembari menutupi wajah dengan kedua tangannya.

"Ya sudah, jangan nangis lagi!" Aku melepaskan kedua tangannya dari wajah.

"Mas tidak marah lagi?" tanyanya dengan nada manja.

Aku menggeleng, meski tidak sepenuhnya rasa kesalku sudah pergi.

"Mas percaya padaku, 'kan? Aku tidak bohong, Mas. Tadi itu aku—"

"Aku percaya," potongku.

"Benarkah?" Dia langsung menegakkan tubuhnya dengan raut wajah ceria.

"Hm, tapi jangan diulangi lagi. Kamu tidak boleh pergi dengan laki-laki lain apa pun alasannya," kataku sembari menjawil hidungnya yang tidak lebih mancung dari Karin.

Sesal Tak BertepiWhere stories live. Discover now