1. Lelah

95.1K 7.9K 265
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen yang banyak. Terima kasih.
_____________________________________________

Plak!

Satu tamparan keras menggema di ruangan tersebut saat Dimas Prayoga, seorang lelaki paruh baya menampar pipi putrinya sendiri. Kedua matanya memerah, napasnya memburu tak beraturan, pun emosinya sudah meluap sampai ke ubun-ubun.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini, hah?! Mau sampai kapan?!" tanyanya dengan nada suara yang naik beberapa oktaf.

"Disuruh kuliah nggak mau, tapi sukanya keluar malem, balapan motor sama temen-temen cowok. Papa bener-bener nggak ngerti sama pikiran kamu, Nay!"

Nayanika Adzkia Talita atau yang kerap dipanggil Naya, berusia 20 tahun, tinggi badannya mencapai 165 cm dan berat badan 55 kilogram. Dia menang memiliki tubuh yang sangat ideal.

Kebiasannya keluar masuk klub malam, balapan motor, dan berkumpul dengan teman laki-lakinya, bahkan tak jarang Dimas mendapati anak semata wayangnya pulang dalam keadaan mabuk berat.

Sebagai orang tua, tentu saja Dimas tidak bisa membiarkan hal buruk tersebut terus menempel pada putrinya. Ia ingin agar Naya berubah menjadi perempuan yang lebih baik dari sebelumnya, akan tetapi sangat susah menasihati gadis itu.

"Suka-suka Naya dong, Pa! Daripada di rumah, Naya muak liat Papa sedih berkepanjangan atas kematian Mama! Semenjak Mama meninggal 13 tahun yang lalu, Papa udah nggak pernah lagi peduliin Naya!" teriak gadis bermata hazel itu dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

"Sadar nggak si, Pa, kalau Papa juga salah dalam hal ini? Papa yang udah ngebuat Nay jadi kayak gini! Nyatanya semua temen-temen Naya lebih paham perasaan Naya ketimbang papa Naya sendiri." Ia menghapus kasar air mata yang dengan beraninya turun membasahi pipi tanpa bisa ia cegah.

"Kalau Papa udah capek sama sikap Naya, kenapa nggak bunuh Naya sekarang aja? Kalau Naya mati, seenggaknya Papa nggak pusing lagi dan beban pikiran Papa bakalan berkurang!" Setelah berkata demikian, Naya bergegas pergi dari hadapan Dimas menuju kamarnya.

Melihat hal itu, Dimas hanya bisa meneteskan air mata seraya menatap nanar punggung Naya yang mulai menjauh dari penglihatannya. Ia sadar jika dirinya memang bersalah, ia sadar jika dirinya tidak bisa mendidik Naya dengan baik.

"Maafin Papa, Nak." Dimas mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kasar. "Kamu harus hidup bahagia dan jangan sampai salah jalan. Papa akan berusaha ngebuat kamu berjalan di jalan yang senantiasa diridhoi oleh Allah, Sayang."

Keesokan paginya, Naya langsung turun dari ranjang kala melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini ia akan pergi bersama kekasihnya ke suatu tempat, jelas ia sangat bersemangat.

Membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk mandi, kemudian berdandan selama sepuluh menit, kini Naya sudah siap. Senyum di wajahnya tak kunjung pudar. Sungguh, ia ingin cepat-cepat keluar bersama kekasihnya itu agar bisa melupakan masalah semalam.

Gadis itu keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga satu per satu, dan berjalan menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada sang papa sedang sarapan pagi, meski malas, namun Naya tetap melangkahkan kakinya ke sana.

Ia langsung duduk begitu saja di meja makan tanpa menyapa sang papa.

"Pagi, Nak." Dimas-lah yang menyapa terlebih dulu.

"Hm pagi, Pa," balas Naya, wajahnya tampak datar.

"Tumben sudah rapi, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?"

Naya yang tengah asik memakan roti selai kacang segera menolehkan pandangan ke sumber suara. "Bukan urusan Papa."

Dima mengembuskan napas lelah. Jika ditanya, jawabannya Naya selalu seperti ini. Ia ingin mencoba dekat dengan putrinya itu, akan tetapi seolah Naya menutup jalan rapat-rapat agar Dimas tidak bisa dekat dengan dirinya.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora