9. Tak Pernah Marah

62K 5.3K 438
                                    

Siapa yang nunggu cerita ini up? Coba angkat kaki kalian

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.

Komen yang banyak ya^^
___________________________________

"Duh, gue laper." Naya langsung turun dari tempat tidur lantas berjalan keluar dari kamarnya. "Ali di mana ya?" Ia terus mencari keberadaan Ali, namun ia sama sekali tak mendapati lelaki itu di mana pun, bahkan di kamarnya juga tidak ada.

"Terserahlah dia mau ke mana, mendingan gue ke dapur, kali aja di kulkas ada makanan."

Sesampainya di dapur, Naya hanya bisa mengembuskan napas kasar tatkala ia tak menemukan satu bahan makanan pun di dalam kulkas.

"Gue lupa ini rumah baru, ya jelaslah nggak ada makanan atau bahan makanan di kulkas. Bego banget si gue," gumam Naya. "Terus gue harus gimana dong? Gue nggak mau mati kelaperan di sini."

Naya melangkahkan kakinya menuju ruang makan dan duduk di sana seraya mengacak-acak rambutnya-frustasi, meratapi nasibnya yang begitu sengsara ketika tak ada Bi Ani. Biasanya ia selalu meminta ini dan itu kepada beliau, tetapi sekarang sudah tidak bisa.

"Keknya gue harus delivery makanan deh."

"Nggak usah, Nay. Aku baru aja beli bahan makanan di pasar." Suara berat seseorang berhasil mengambil alih perhatian Naya.

Dengan segera Naya menolehkan pandangan ke sumber suara, ekspresinya benar-benar datar, ia terlihat marah dengan suaminya. "Lo mau ngebuat gue mati kelaperan di sini, hah?! Kenapa kulkas masih kosong? Seharusnya sebelum lo bawa gue ke sini, lo isi dulu tuh kulkas sama bahan makanan atau beberapa makanan ringan yang bisa gue makan!"

"Maaf, aku lupa. Makanya aku pergi ke pasar buat belanja semua ini." Ali menaruh keresek besar yang ia bawa ke atas meja makan. "Kamu bisa masak sekarang, Nay."

Tentu Naya membelalakkan kedua matanya ketika mendengar kalimat akhir yang diucapkan oleh Ali. Bagaimana bisa Ali menyuruhnya memasak? Memotong bawang saja ia tak bisa, apalagi memasak makanan.

"Ke-kenapa nggak lo yang masak?" tanya Naya.

"Aku?" tanya balik Ali sembari menunjuk dirinya sendiri. "Padahal aku ingin sekali memakan masakan istriku." Jeda beberapa detik sampai akhirnya Ali kembali berucap, "Apa sebenernya kamu nggak bisa masak, Naya?"

"Kalau gue nggak bisa masak emangnya kenapa? Lo mau talak gue? Ayo talak aja sekarang, gue ikhlas lahir batin ditalak sama lo!" Lagi dan lagi Naya berucap dengan nada tinggi di hadapan Ali. Hal tersebut membuat Ali semakin mendekati Naya.

"Aku nanyanya pake nada rendah, seharusnya jawaban kamu menggunakan nada rendah juga. Nggak baik loh marah-marah terus kayak gitu," ujar Ali. "Karena kamu belum bisa masak, hari ini aku aja yang masak. Tunggu sebentar ya, makanan akan segera dihidangkan di meja makan ini."

"Gitu kek dari tadi, pake nanya-nanya segala. Ribet banget." Naya melipat kedua tangannya di bawah dada dengan dagu yang terangkat ke atas.

Sebelum pergi ke dapur, tangan Ali terulur untuk mengelus lembut puncak kepala Naya, hal itu berhasil membuat Naya menegang di tempat. Apa-apaan ini? Setelah semua sikap buruk yang ditunjukkan kepada Ali, lelaki itu masih mau bersikap lembut kepadanya? Dia tidak marah atau terpancing emosi atas kata-kata kasar Naya? Hebat sekali.

Naya memperhatikan punggung Ali yang mulai menjauh dari penglihatannya. Untuk beberapa saat ia terdiam dan hanyut ke dalam pikirannya sendiri, mengenai Ali yang selalu menunjukkan kehangatannya meski ia tak segan menyakiti hati lelaki itu dengan lontaran kata pedasnya. Namun di detik berikutnya ia langsung menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menghilangkan sosok Ali yang sejak tadi terus bersemayam di dalam pikirannya.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now