5. Tak Sanggup

68.4K 6.3K 407
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.
___________________________________

Naya menatap sekeliling, kos-kosan yang ia tempati terlihat begitu kecil, walau di dalamnya terdapat kamar mandi juga, namun tetap saja masih berbeda jauh dengan kamar miliknya yang terlihat begitu besar dan luas.

"Apa ini? Kos-kosannya mirip kandang ayam. Kecil dan sempit banget," gumam Naya. Sumpah, ia tidak tahu bisa tidur atau tidak di tempat sekecil ini.

"Tapi nggak papa-lah, daripada gue nggak dapet kos-kosan buat tempat tinggal gue selama beberapa bulan ke depan, mending gue tinggal di sini. Tentu aja gue nggak mau tidur di jalanan."

Dengan sangat terpaksa, Naya membereskan barang-barang yang ada di kopernya ke lemari plastik yang ada di kamar kos tersebut.

Membutuhkan waktu 1 jam untuk Naya membereskan semua barang-barangnya. Jika dilihat lagi, sebenarnya barang-barang yang dibawa Naya tidak banyak, ia bisa lama membereskan barang-barang tersebut karena rasa malas yang terus bersemayam di dalam diri perempuan itu.

"Hufftt." Naya mengembuskan napas kasar. "Akhirnya selesai juga. Udah ah gue mau tidur, capek!" Ia langsung merebahkan diri di atas kasur.

Lain halnya dengan Ali yang tak kunjung tidur meski ia sudah berada di dalam kamar.

Lelaki itu membuka jendela kamarnya lebar-lebar, membiarkan dinginnya malam menyapa tubuhnya. Jujur, ia benar-benar bersyukur dengan apa yang Allah beri selama ini.

Melihat bulan yang tengah bersinar terang dan juga kelap-kelip bintang yang terlihat sedap dipandang mata membuat rasa syukur Ali semakin bertambah.

"Saya bukanlah anak kandung Abah dan Ummah, tapi mereka benar-benar menyayangi saya seperti anak kandung mereka sendiri. Terima kasih banyak, Ya Allah."

Baru saja Ali merapatkan bibirnya, terdengarlah suara ketukan pintu yang berhasil mengambil alih perhatian lelaki itu. Segera, Ali menolehkan pandangan ke sumber suara dan terdiam untuk beberapa detik, memastikan jika ada yang mengetuk pintu kamarnya atau tidak, ia takut salah dengar.

Namun saat suara sang ummah menyapu lembut indra pendengaran Ali, barulah ia mulai melangkahkan kakinya menuju pintu kamar lalu membukakan pintu kamar tersebut.

"Ummah? Ada apa, Mah? Tumben ke kamar Ali," ujar Ali disertai kekehan kecil.

"Ummah mau ngomong sesuatu sama kamu, Li."

"Kalau begitu, silakan masuk, Ummah. Jangan berdiri di tengah pintu seperti ini." Ali mempersilakan Ranti untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Baiklah, Sayang." Segera, Ranti masuk ke dalam kamar putranya itu dan langsung berjalan ke arah jendela kamar tatkala melihat jendela kamar tersebut terbuka lebar.

"Loh jendelanya kenapa nggak ditutup, Ali? Kamu bisa masuk angin kalau nggak ditutup."

"Padahal ngeliat langit malam dari jendela kamar keliatan indah, Ummah. Ali menyukainya," ucap Ali, ia tersenyum tipis ke arah Ranti.

Ranti menggeleng-gelengkan kepala, entah sudah ke berapa kali ia mengatakan pada Ali bahwa angin malam tidak bagus untuk kesehatan, akan tetapi Ali tidak pernah mendengarkannya.

"Oh ya, apa yang mau Ummah omongin sama Ali?" Ali menuntun Ranti untuk duduk di tepi ranjang, tentunya wanita paruh baya itu menurutinya.

"Kamu berhak bahagia, Nak. Ummah dan Abah sudah sepakat tidak akan membuatmu menuruti kemauan kami lagi. Kamu boleh memilih wanita pilihan kamu sendiri, seorang wanita yang kamu cintai." Sebagai orang tua, Ranti sadar lantaran ia banyak menuntut pada Ali. Beruntungnya, Ali tidak pernah keberatan akan tuntutan tersebut.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang