24. Gejolak Rasa

54.2K 5.7K 1.9K
                                    

Aku up jam 01.33 WIB, kira-kira masih ada yang melek nggak ya?👀

Makasih buat kalian yang masih setia menunggu cerita ini up

Makasih juga buat kalian yang udah vote dan spam komen bahkan komen di setiap paragraf, berkat kalian target vote dan komennya terpenuhi dengan cepat^^

Sesuai janji, aku bakalan up lagi kalau vote sama komennya udah tembus. Dan ya, sekarang aku up!

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Komen yang banyak ya! Kalau bisa komen di setiap paragraf. Terima kasih.

1,2 rb vote + 1,53 rb komen untuk next chapter. Bisa tembus cepet? Bisa dong ya!🔥
_____________________________________________

Hasna mengurung dirinya di dalam kamar, tak mau makan, pun tak mau berbicara dengan siapa pun. Berkali-kali kedua orang tua dan kakaknya mengetuk pintu kamar gadis itu. Akan tetapi, Hasna tetap tidak mau merespon atau membukakan pintu untuk mereka.

Hancur sudah, rasa sakit yang terasa di hatinya membuat dunia seakan-akan tak berpihak padanya. Ia merasa Allah tidak adil karena Allah tidak menjodohkan dirinya dengan lelaki yang sangat ia cintai.

Penantian selama 5 tahun berujung sia-sia, lantas ia harus marah pada siapa?

"Kenapa harus aku yang mengalami ini semua, Ya Allah? Kenapa?" Air mata terus mengalir membasahi wajah cantik Hasna yang terlihat pucat lantaran sejak kemarin belum makan. Ya, jam makan Hasna memang tidak teratur semenjak ia mengetahui jikalau Ali mengingkari janjinya sendiri.

"Gimana caranya aku ngilangin rasa cinta aku pada Ali sedangkan rasa cinta ini terus mekar setiap harinya? Aku nggak bisa ngilangin rasa cinta ini dengan mudah, Ya Allah. Rasanya sangat sulit karena aku sangat mencintai salah satu hamba-Mu yang bernama Muhammad Ali Alfikri itu.

Tubuh Hasna bergetar akibat tangisnya yang tak berkesudahan. Ia lelah. Sungguh, ia merasa lelah. Bukan lelah gara-gara ia terus menangis melainkan lelah lantaran ia tak bisa menerima kenyataan pahit yang sekarang tengah menampar telak dirinya.

"Hasna, buka pintunya!" Suara sang kakak terdengar jelas dari balik pintu kamar.

"Kalau kamu nggak mau buka pintu kamar kamu, Abang bakalan dobrak!!!"

Walau Davit berkata dengan menggunakan nada tinggi. Namun, hal tersebut hanya dianggap angin lalu saja oleh Hasna. Hasna tak peduli jika seandainya Davit benar-benar mendobrak pintu kamarnya.

Brak!

Pintu pun terbuka dan menampakkan wajah Davit yang dipenuhi kekesalan atas adiknya yang terlalu larut dalam kesedihan.

"Hasna ...." Ucapan Davit terhenti karena Hasna sudah memotongnya terlebih dulu.

"Hasna malu, Bang." Gadis yang memakai gamis berwarna navy dengan khimar senada itu menyembunyikan wajah di kedua lututnya. Ia duduk di tengah tempat tidur tanpa ada niatan ingin beranjak dari sana meski ia tahu bahwa Davit masuk ke dalam kamarnya.

Mendengar perkataan Hasna barusan, Davit mengerutkan keningnya--samar. "Malu sama siapa?"

"Malu sama Mama, Papa, sama Abang. Hasna juga malu sama temen-temen Hasna. Hasna nggak tau kalau akhirnya bakalan kayak gini, Hasna kira omongan Ali bisa dipegang, ternyata perkiraan Hasna salah besar."

"Sebelumnya, Hasna selalu bangga-banggain Ali di depan Abang, Mama, atau Papa. Ali bisa ini-lah, Ali bisa itu-lah, semua tentang Ali pasti Hasna ceritain ke kalian, bahkan sampe janji Ali ke Hasna pun Hasna cerita, kan? Nyatanya semua zonk, nggak ada yang tersisa, sedikit aja nggak ada, Bang. Sakit, hati Hasna sakit," papar Hasna dengan suara yang terdengar begitu parau.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now