7. Menahan Amarah

75K 6.3K 585
                                    

Kemaren udh janji double up, tapi aku ketiduran, jadi up-nya hari ini. Maaf ya😣🙏🏻

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.

Komen yang banyak di setiap paragraf ygy.
____________________________________

Naya langsung merebahkan dirinya di atas kasur saat acara sudah selesai. Tentu ia merasa lelah. Dengan memakai gaun pengantin yang mewah seharian, membuat rasa lelahnya semakin bertambah lantaran gaunnya berat.

Ketika kedua mata Naya baru saja tertutup sempurna, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya.

Perempuan itu membuka mata kembali dan mendapati Ali sudah duduk di tepi ranjang.

"Mau langsung tidur, hm? Nggak mandi dulu?" tanya Ali.

Naya mengembuskan napas kasar kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. "Lo aja yang mandi duluan!"

"Lebih baik kamu yang mandi duluan, Nay. Baru aku yang mandi. Sekarang udah jam sembilan malam, aku tau kamu capek. Kalau udah mandi kan badan kamu bisa lebih segar dari sebelumnya, terus kamu bisa segera istirahat." Lagi dan lagi setiap kata yang terlontar dari mulut Ali seperti mengandung ketenangan dalam jiwa.

Untuk sesaat Naya terdiam, tak bergerak sama sekali dari tempatnya berada. Jujur, ia merasa senang ada seseorang yang peduli terhadapnya. Sebelum ini, tak ada satu orang pun yang peduli, termasuk Dimas. Dimas hanya bisa marah-marah saja jika dirinya datang larut malam dengan kondisi mabuk tanpa ada niatan mencarinya.

Seharusnya jika Dimas benar-benar khawatir kepadanya. Sebagai seorang ayah, pastilah ia akan mencari keberadaan Naya sampai perempuan itu ditemukan, bukan menunggu kepulangan Naya di rumah dan membiarkan Naya pulang larut malam.

"Ayo mandi, Nay. Hari sudah semakin malam," ujar Ali yang mendapat tanggapan berupa anggukan kecil dari Naya.

Lima belas menit di kamar mandi, sekarang Naya merasa tubuhnya sudah lebih segar dari sebelumnya. Ia pun duduk di meja rias tanpa mengucapkan sesuatu pada suaminya.

"Kamu udah selesai, Nay?" Ali berbasa-basi. "Ya udah, aku mandi dulu ya."

Naya menatap dirinya lewat pantulan cermin, ia tak mengindahkan ucapan Ali barusan. Kedua netra perempuan itu memerah, napasnya seketika memburu tak beraturan. Bukan, bukan takdir seperti ini yang ia inginkan. Bukan dengan menikah dengan Ali yang ia mau.

Naya memang ingin bahagia, tetapi bukan dengan menjadi seorang istri dari Muhammad Ali Al-Fikri, melainkan ia ingin agar keluarganya bisa lengkap kembali, ia ingin mamanya kembali ke dalam dekapannya.

"Apa si kelebihan gue sampe Ali mau nerima perjodohan itu tanpa ngebantah sedikit pun? Padahal gue bukan orang baik nggak kayak dia. Gue suka clubing, suka balapan motor, sering mabuk, pokoknya nggak ada yang bagus dalam diri gue. Dia kan bisa nikahin seorang wanita sholehah atau orang-orang yang sederajat sama dia, kenapa harus gue? Kenapa harus gue yang bersanding sama cowok sholeh kayak Ali?" Naya mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat hingga kuku-kuku jarinya memutih.

"Gue nggak suka sama Ali, sampai kapan pun gue nggak akan suka sama Ali, si cowok alim!" ungkap Naya penuh penegasan.

"Mendingan gue tidur sekarang!" Naya pun berjalan terburu-buru menuju ke atas tempat tidur, lalu merebahkan dirinya di sana.

Beberapa menit kemudian, Ali yang sejak tadi berada di dalam kamar mandi segera melangkah keluar. Ia tersenyum tipis kala melihat sang istri sudah terlelap.

Ali naik ke atas tempat tidur, dengan mata yang masih tetap fokus memandangi wajah cantik Naya.

"Selamat tidur, istriku." Ia mencium lama kening sang istri. Namun, baru saja ia kembali pada posisi semula, tiba-tiba ia merasakan tamparan keras mendarat di pipinya.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now