3. Kesusahan

70.1K 6.5K 155
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Terima kasih.

Yang belum vote, ayo vote dulu ya.
___________________________________

"Ada apa, Om? Kenapa Om terlihat khawatir seperti itu?" tanya Ali saat melihat perubahan ekspresi wajah Dimas.

Lelaki paruh baya itu mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kasar. Harapan agar sang putri bisa menikah dengan seorang lelaki pilihannya hancur berkeping-keping. Keinginannya untuk melihat perubahan sikap Naya menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya seolah hanyalah khayalan belaka. Ya, tidak akan mungkin terjadi.

Dimas menundukkan kepala, kedua tangannya dirapatkan di depan dada kemudian berucap, "Maaf, perjodohan ini dibatalkan. Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya."

Jujur, Aryo pun ikut terkejut mendengar penuturan Dimas barusan. "Ada apa, Dimas? Apa putrimu tidak mau dijodohkan dengan Ali?"

"Iya. Dan lebih parahnya, dia kabur dari rumah lewat balkon kamarnya. Putramu itu bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada putri saya. Meski kita berdua tidak berbesanan, tetapi kita berdua akan tetap menjadi sahabat," ujar Dimas.

Mendengar kata demi kata yang baru saja diucapkan oleh Dimas, entah mengapa rasa sedih serta kecewa tiba-tiba menghampiri Ali. Meski dirinya belum pernah melihat wajah Naya secara langsung dan hanya lewat foto saja, pun belum pernah bertemu dengannya, tetapi ada sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh Ali seakan menariknya secara perlahan.

Aryo menghela napas panjang. Jika sudah begini, tentu ia tidak bisa berbuat apa-apa. Putranya memang menerima perjodohan yang direncanakan oleh dirinya dan Dimas. Namun sayang, karena putri Dimas yang bernama Naya malah sebaliknya.

"Yaahh mau bagaimana lagi? Ya sudah tidak apa-apa," ucap Aryo seraya menepuk beberapa kali bahu Dimas.

"Kalau begitu, saya sama Ali pamit pulang ya, Dimas.

"Tunggu, Bah." Jeda beberapa detik sampai akhirnya Ali kembali berucap, "Ali mau ke kamar mandi sebentar apa boleh?" tanyanya.

"Iya, boleh. Abah tunggu di sini."

"Syukron, Abah." Kemudian tatapan mata Ali beralih ke arah Dimas. "Om Dimas, saya izin ke kamar mandi ya. Di mana letak kamar mandinya?"

"Kamu lurus saja, kamar mandi bawah terletak di sebelah dapur. Apa mau Om antar?"

Segera Ali menggelengkan kepala. Toh, Dimas sudah memberitahu di mana letak kamar mandinya, jadi ia bisa ke kamar sendiri tanpa diantar.

"Oh nggak usah, Om. Ali bisa ke kamar mandi sendiri." Setelah berkata demikian, Ali pun mulai melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.

Tatkala Ali sudah keluar dari kamar mandi, tanpa sengaja ia melihat foto seorang anak kecil yang tak asing bagi dirinya. Ia seperti pernah melihat foto anak kecil itu, tapi di mana?

Pelan tapi pasti, Ali berjalan mendekati foto yang terpajang di dinding ruang TV. "Sepertinya saya pernah melihat anak kecil ini."

Ia pun mengingat-ingat kembali beberapa kejadian masa lalu yang sempat ia lupakan. Namun, seketika kedua mata Ali membulat sempurna saat mengingat siapa anak kecil yang sedang tersenyum lebar dalam foto tersebut.

"Iya benar, ini adalah dia. Seorang gadis kecil yang menangis di bawah pohon 13 tahun yang lalu, dan saya pernah mentraktirnya es krim meskipun saya belum mengetahui siapa namanya," gumam Ali.

"Te–ternyata dia Naya, anaknya Om Dimas? Wanita yang nggak mau dijodohkan dengan saya dan memilih kabur dari rumah?" Ali menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh, ia masih tak percaya dengan semua yang terjadi ini. "Bagaimana bisa?"

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now