Bagian 03 : Sedikit Harapan

260 34 11
                                    

Jihyo menarik langkah dengan pelan meninggalkan area administrasi kampus. Ia memiliki keperluan di sana untuk mengurus surat cuti, mengingat ia tidak lama lagi akan memasuki masa melahirkan. Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat--membawa Jihyo pada putaran waktu di mana ia tidak lama lagi akan menjadi seorang ibu.

Satu sudut bibirnya lantas terangkat dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Dengan spontan, ia menghentikan langkah, lantas memberikan amatan pada perutnya yang mulai membuncit. “Kau benar-benar hamil, Jihyo. Dia membesar diperutmu!"

"Akan tetapi, kau seharusnya tidak datang bayi. Kau hanya akan menderita dengannya, karena aku tidak ingin menjadi ibumu.”

Jihyo menghembuskan napas kasar. Kedua mata bulatnya spontan mengamati sekeliling. Ia melihat sekitar yang lumayan ramai dengan para mahasiswa yang sedang bercengkeramah dan tertawa. Mereka membuat perkumpulan, membuat Jihyo membeku. Entahlah, ia merasa sedikit iri. Setidaknya, mereka bisa tertawa lepas, tidak seperti dirinya yang terjebak akan luka yang serasa akan terus membekas.

Kembali, Jihyo melirik kepada perutnya dengan senyum miring. “Sampai kapan pun, aku tidak ingin menjadi ibumu. Kenyataan yang kupegang, aku tidak memiliki anak dan suami.” Lalu, perlahan air hujan datang membasahi bumi--hanya sedikit demi sedikit dengan kilat yang ikut menyemarakkan. Akan tetapi, Jihyo tidak menyangka akan merasakan perutnya yang sedikit keram dengan kondisi seperti ini.

Jihyo sontak bertumpu di lantai bebatuan. Rasanya sulit untuk menahan tubuhnya yang tampak berat dengan keram yang terasa luar biasa--dirasakan spontannoleh tubuh Jihyo. Perlahan, suara ringisan keluar dari kedua bibir, bahkan kedua matanya mendadak mengeluarkan air mata--menyatu dengan air hujan yang turun.

“Penderitaan macam apa yang kau berikan kepadaku Tuhan?” tanya Jihyo dengan kedua bibir yang bergetar. Sedikit menebak, apakah bayi yang ada diperutnya akan keluar disaat ini juga? Jihyo tidak paham, karena pemeriksaan yang dilakukan secara paksa kemarin menyatakan Jihyo akan melahirkan minggu depan. Lantas, kenapa bayi di perutnya malah ingin keluar lebih cepat?

Namun, pastinya Jihyo merasakan bagian bawahnya terasa mengeluarkan cairan. Ia sudah bisa menebak, tetapi ia tidak bisa bangkit. Kepalanya bahkan sedikit pening.

Menyedihkan sekali hidupmu, Jihyo!

“Hei, Jihyo. Ini aku, kenapa kau tidak berteduh. Kau akan sakit!” Seseorang berteriak dan mendekat. Bahkan, berusaha membuat payung yang sebelumnya hanya untuk ia gunakan kini beralih melindungi seluruh tubuh Jihyo. Tidak peduli dengan ia yang sudah basah--Jungkook rela melakukannya. Secara tiba-tiba, ia yang sebelumnya memiliki urusan dengan salah satu dosen mengenai kasus yang dipegangnya, tidak menyangka melihat istrinya kehujanan dan tidak berdaya.

“Jihyo,” panggil Jungkook dengan sedikit bergetar.

Pemilik nama lantas menoleh pada pemilik suara yang ia kenali. Masih ada kebencian yang Jihyo berikan. Terasa ingin memaki, tetapi ia tidak punya kuasa. Tubuhnya terasa kebas dan sakit. Ia bahkan hanya bisa menangis dan berharap kesakitannya berhenti.

“Senior, ini sakit sekali. Perut ini,” kata Jihyo yang dibarengi dengan ringisan. Tanpa berpikir panjang, Jungkook melepas payung dari genggamannya. Ia bersiap untuk menggendong Jihyo, membawanya ke rumah sakit. Ia sudah menduga, bayi mereka akan lahir lebih awal.

“Bertahanlah sebentar, Jihyo. Aku di sini, semuanya akan baik-baik saja.” Dalam hati, Jungkook memastikan itu. Istri dan anak mereka akan baik-baik saja.

***

Saat ini, Jungkook berjalan mondar-mandir--sama sekali tidak bisa tenang ketika istrinya masih berada di dalam ruang bersalin. Ketakutan dan kegelisahan Jungkook bersatu--ia merasa campur aduk. Walau begitu, ia tampak sedikit lega ketika ia bisa melihat Jihyo di sana. Sama sekali Jungkook tidak bisa membayangkan ketika ia tidak ada di kampus. Bahkan, tadi pun tidak ada yang mendekat. Jungkook bisa melihat hanya tatapan sinis yang diberikan sekitar untuk Jihyo. Seakan Jihyo bukanlah manusia seperti mereka.

My Second LifeWhere stories live. Discover now