Bagian 06 : Kesempatan Kedua?

385 43 14
                                    

Jihyo mengingat masa ketika dirinya menghabiskan seluruh masa kecil di sebuah panti asuhan yang ada di Busan kala itu. Sejak bayi, ia dicap sebagai anak yatim piatu yang hina, tetapi Jihyo menyakini jika kedua orantuanya masih hidup. Hanya saja, dirinya lahir diwaktu yang tidak tepat sehingga berakhir di tempat yang sama dengan anak-anak tanpa orang tua. Jihyo merasa kehidupannya amat miris, ditambah ketika rasa percaya diri akan kedua orangtuanya yang suatu saat akan kembali, membawa dirinya dari tempat itu. Bahkan, Jihyo selalu menggagalkan misi ketika dirinya ingin diadopsi, karena Jihyo hanya menginginkan sosok kedua orangtua aslinya yang entah siapa.

Akan tetapi, detik berganti hingga tahun sekalipun, tidak ada yang mencari keberadaannya. Hingga Jihyo beranjak remaja dan merasakan kepahitan hidup yang sebenarnya, memercikkan kebencian pada dirinya sendiri. Belum lagi ketika Jihyo memegoki seseorang yang pernah ia sukai—mengatakan hal yang membuat Jihyo merasa tidak ada cinta dan ketulusan di dunia ini. Jihyo menganggap, apa yang terjadi di dunia hanyalah drama dengan penuh sandiwara.

"Aku tidak menyukainya! Aku dan dia jauh sekali. Dia terlahir dari panti asuhan, jelas dia adalah anak hina yang tidak diinginkan, bukan? Aku hanya ingin bermain sedikit dan membuangnya. Siapa suruh dia menyukaiku. Itu ada risikonya."

Jihyo tidak bisa berkomentar banyak tatkala mendengar percakapan seseorang yang ia kagumi dengan sahabat baiknya di sekolah menengah pertama. Namun, momen itu menjadi momen yang berharga karena menjadi titik balik Jihyo untuk menemukan jati dirinya—ia ingin membungkam mulut-mulut hina yang seluruh diluncurkan untuk dirinya.

Jihyo belajar mati-matiian—mulai mentari terbit hingga langit menjadi gelap gulita, lantas ia mendapatkan beasiswa di salah satu sekolah asrama menengah atas yang ada di Seoul—menjadi puncak Jihyo meninggalkan panti asuhan tempatnya meratapi nasib. Namun, ia tidak pernah tahu akan melalui banyak ujian sehingga menciptakan kepribadian yang semakin terobsesi untuk menjadi nomor satu, menutup diri dan tidak ingin mengenal pria yang hanya bisa merusaknya.

Ya, Jihyo mengingat masa-masa itu ketika dirinya masih dihantam akan tetesan-tetesan air hujan di atas gundukan tanah kuburan milik suaminya. Tatapan Jihyo begitu sayu dan menyesal atas apa yang seharusnya tidak terjadi. Kepalanya dibuat semakin pening, tetapi rentetan kejadian-kejadian masa lalu terus berputar.

Terlebih pada masa ketika dirinya tidak ingin membuka hati, malam panas itu datang begitu saja—mengubah kehidupan Jihyo yang sebelumnya tidak ingin menikah atau bahkan memiliki anak. Jihyo ingin menjadi manusia individu. Jalan satu-satunya hanyalah aborsi, tetapi waktu itu—Jungkook datang dengan tanggung jawab yang ia bawa dan menjadi awal kebencian yang Jihyo torehkan untuk pria malang itu.

Jihyo mengangguk dalam isakannya. "Aku seharusnya bisa lebih dewasa lagi, Senior. Pada dasarnya, kau pun tidak menginginkan alur takdir seperti ini, tetapi aku tidak ingin memahaminya."

"Aku hanya ingin terus membencimu."

Ingatan mengenai sikap Jungkook yang selalu mengalah dan mengayomi kembali terlintas. Perhatian-perhatian kecil dari sapaan hingga makanan yang sering dibuat, bahkan tidak menggentarkan Jungkook. Dalam buku catatan juga pengakuan sahabatnya, Choi Jungkook masih mencintainya dan seakan terus akan melakukannya.

"Aku wanita yang tidak pantas mendapatkan cinta, Senior. Seharusnya kau tidak memberikan begitu banyak. Seharusnya, kita tidak melanjutkan pernikahan ini setelah kelahiran Jeonshan. Seharusnya ...." Jihyo tidak melanjutkan perkataannya setelah menyebut nama bayi yang telah ia lahirkan dan berakhir ia terlantarkan—seperti yang ia dapatkan dari kedua orangtuanya di masa lalu.

Jihyo menyadari, kembali mengulang masa-masa buruknya. Hanya saja, Jeonshan memiliki ayah yang hebat dan menjadi tameng hingga dititik terakhirnya.

"Selain bukan menjadi istri yang baik, aku bukanlah ibu yang baik. Keduanya kuperankan dengan buruk. Aku lebih layak dikatakan wanita iblis, seperti yang dikatakan oleh Sohyun Senior," kata Jihyo dengan lirih. Sebelah tangannya mengepal kuat, tangisnya semakin pecah. Ia merasa tenggorokannya terasa kering dan sulit untuk berkata-kata lagi. Saat ini, semuanya sesak untuk dikatakan tatkala hanya ada penyesalan yang datang menghampiri.

My Second LifeWhere stories live. Discover now