Bagian 45 : Campur Aduk

111 22 0
                                    

Jungkook merasa dipermainkan. Bagaimana pula pria itu seperti orang bodoh dengan memberikan seluruh asetnya pada orang asing? Ia masih tidak habis pikir saat pria bernama Misoo menjelaskan hal yang diperlukan dan untuk lebih rinci lagi, Misoo akan menginfokan secara berlaka. Walau begitu, Jungkook langsung menolak, merasa tak pantas untuk menerima kala ia dengan Goo Seojun tidak sedekat itu. Tidak peduli jika ia pada dasarnya memang anak kandung satu-satunya. Itulah yang tertulis di wasiat itu.

Bodoh. Jungkook langsung berkata demikian dan memilih untuk pergi bersama dengan Jihyo, meninggalkan Misoo yang mematung. Dalam hal ini, Jungkook dan Jihyo pun kembali ke rumah sakit, tetapi mereka tidak berkunjung ke jangraeshikjang dan memilih ke ruang inap sang ibu yang masih melakukan tahapan perawatan, tidak lama lagi akan diberi izin untuk pulang. Bagi Jungkook pun, tidak ada alasan dirinya kembali ke jangraeshikjang.

Sampai sekarang, Jungkook merasakan kebencian itu dan Jungkook merasa harus terus membencinya.

Sementara Jihyo, ia sungguh masih berusaha mencerna apa yang tengah terjadi. Kecelakaan, kematian hingga surat wasiat, hal yang tidak terduga tetapi secara kebetulan terjadi. Jihyo juga tidak ingin memberikan tekanan dan seharusnya memang membiarkan Jungkook berpikir jernih terlebih dahulu.

Belajar memahami Jungkook selama ini, membuat Jihyo merasa suaminya itu memiliki hati yang begitu luas jika persoalan maaf. Hanya saja, terkadang ego suaminya memang begitu besar sehingga perlu kesabaran untuk melunakkannya.

Selama perjalanan, tidak ada yang Jungkook katakan kala jemarinya sejak tadi digenggam begitu erat—menyusuri lorong-lorong rumah sakit hingga tiba di ruangan yang sering kali ia singgahi. Bahkan saat pintu itu perlahan di buka dan mereka bisa melihat sang ibu yang tengah memegangi seraya mengamati benda itu cukup lekat.

Bola mata Jihyo membesar melihat hal tersebut. Tak menyangka jika benda itu ternyata masih di simpan oleh ibu mertuanya. Sebuah sapu tangan yang dirajut khusus dan diberikan oleh pujaan hati kala itu. Jihyo terpaku. Lain halnya Jungkook, ia yang memang tidak mengerti, kembali melangkah dengan tatapan kosong.

"Apa yang ibu lakukan? Sekarang sudah hampir malam. Waktunya istirahat," ucap Jungkook yang sebelumnya masih menggenggam jemari Jihyo, kini terurai dan Jungkook terlebih dahulu mendekat. Akan tetapi, keduanya malah melihat sang ibu yang menggeleng lesu—tatapannya masih berada di sana, membuat Jungkook menaikkan sebelah alis.

"Apa yang ibu pikirkan? Ingat, ibu tidak boleh berpikir banyak hal. Ibu akan stres dan itu akan berdampak bagi kesehatan ibu," ucap Jungkook lagi.

Alhasil, Hanni langsung mengangkat kepala dengan kedua mata yang berkaca. Ia mengamati Jungkook begitu lekat dengan napas yang tercekat.

"Ibu—"

"Dia sudah pergi, Jung. Dan ibu yakin, kau dan istrimu dari sana, bukan?" Hanni berujar yang membuat Jungkook mengerjapkan mata. Sedikit heran dengan pertanyaan yang mengarah ke sana, padahal sebelumnya tidak pernah mereka membahas sekali saja.

"Ibu tahu dari mana?" Jungkook langsung bertanya dengan sebelah alis yang terangkat.

Hanya saja, Hanni tidak memberikan jawaban sama sekali. Ia memilih diam, hingga terdengar suara helaan napas dan itu disebabkan oleh Jihyo.

"Aku yang memberitahu jika kita dari sana serta berita kematian itu kala Bibi Song bertanya mengenai keberadaan kita. Aku, aku tidak bisa bohong," ucap Jihyo yang menundukkan kepala. Sedikit takut jika berakhir akan membuat Jungkook meledak. Hanya berkata demikian, Jungkook langsung memberikan fokus pada Jihyo.

Hanni yang paham sang menantu yang kemungkinan akan mendapatkan omelan dari suaminya langsung menggenggam jemari Jungkook. "Jangan salahkan istrimu, Jung. Ibu yang menyuruhnya untuk jujur," ujar Hanni yang langsung membuat amatan Jungkook teralihkan.

My Second LifeWhere stories live. Discover now