Bagian 41 : Alasan

116 24 3
                                    

Jihyo kembali mengunjungi ibu mertuanya seraya membawa pandan cake seperti saat itu kala sang ibu mertua sendirilah yang menginginkannya. Akan tetapi, Jihyo tidak menemukan eksistensi sang ibu mertua saat memasuki ruangan tersebut. Sempat panik, tetapi mendengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi, membuat Jihyo sedikit lega walau ia tetap khawatir kala sang ibu mertua yang mulai aktif. Padahal, ia yang sepenuhnya belum pulih.

Ditaruhnya paperbag yang berisi pandan cake seraya menanti ibu mertuanya keluar. Hanya saja, Jihyo sedikit terkejut mendapat sebuah sapu tangan perpaduan warna biru langit dan putih. Lantas, terdapat ukiran H&S berwarna gold—tampak anggun dan indah. Nyatanya, fokus Jihyo ada di sapu tangan itu.

"Oh, kau sudah tiba ternyata. Apa daritadi?" tanya Hanni selepas keluar dari toilet. Mengenakan walker, ia berjalan tertatih hingga membuat Jihyo ikut melangkah pelan—mendekat untuk membantu. Tanpa sadar, ia ikut membawa sapu tangan itu.

"Biar aku bantu," ucap Jihyo yang langsung berada di sisi kanan.

Hanni ingin menolak, tetapi Jihyo ternyata lebih cepat di tengah kehamilan yang ia rasakan. Wanita tersebut pun hanya bisa menghela napas. "Seharusnya tidak perlu. Ibu masih bisa jalan seperti biasanya," balas Hanni. Ia bahkan memperlihatkan jika dirinya memang begitu kuat.

Terlihat Jihyo membulatkan mata. Takut terjadi yang tidak diinginkan dan nyatanya, sang ibu mertua memang begitu keras kepala saat ia kini duduk di atas kasurnya, tetapi Jihyo memaksa untuk tetap membantu, walau ia sebenarnya juga cukup kesulitan.

"Ibu seharusnya menekan bel agar Ners bisa membantu." Jihyo berujar seraya menepikan walker agar tidak menjadi penghalang.

Hanni melihat menantunya dengan sedikit memelas. "Ibu merasa bosan. Lagipula, tidak masalah dengan hanya melakukannya seorang diri."

Jihyo mengangguk paham jika sang ibu mertua jelas merasakan kebosanan karena sudah begitu lama berada di rumah sakit. Hanya saja, ini demi kebaikannya sendiri. "Akan tetapi, bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Setidaknya ada yang harus memantau ibu agar semua baik-baik saja," jelas Jihyo bak memarahi anaknya. Hanni pun hanya mengangguk—seakan menerima dirinya dinasehati.

Saat kepalanya yang tengah menunduk, Hanni langsung mengerjapkan mata mengamati benda yang dipegang oleh Jihyo. Sapu tangan itu, bagaimana bisa berada dalam genggaman menantunya?

"Jihyo, di mana kau mendapatkan sapu tangan itu?" Sambil Hanni menunjuk benda yang tidak disadari oleh sang empu. Bergegas Jihyo memberikannya pada sang ibu mertua dengan perasaan campur aduk.

"Tidak sengaja menemukannya di atas meja saat menaruh pandan cake yang kubeli. Akan tetapi, aku tidak bisa bohong! Betapa cantiknya sapu tangan milik ibu," ucap Jihyo dengan jujur.

Namun, Hanni tak bereaksi. Ia diam membisu mengamati sapu tangan yang sudah ia genggam, membuat Jihyo sedikit heran—tak mengerti perubahan ekspresi ibu mertuanya.

"Ibu, apa ada sesuatu yang terjadi?" Jihyo memilih bertanya dengan pelan karena ibu mertuanya yang hanya diam saja. Bahkan, tidak ada ekspresi lain yang ia ciptakan. Tentu, Jihyo dibuat khawatir. Terlebih ia seketika melihat ibu mertuanya yang tersenyum miring.

"Ini bukan milikku." Hanni berujar dengan pandangan yang masih pada sapu tangan itu dan Jihyo masih diam, ia seakan yakin jika ibu mertuanya masih ingin mengatakan sesuatu.

"Akan tetapi, aku yang membuat sapu tangan ini. Sudah begitu lama, namun aku masih mengingatnya. Momen ketika aku memberikan benda ini kepadanya. Saat itu begitu manis, tetapi jika mencoba untuk terus menyelami momen itu, aku hanya akan membuka luka lama," jelas Hanni. Ia memejamkan mata seraya menghembuskan napas dengan kasar.

My Second LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora