5. Kenapa kamu terus mundur?

130 5 3
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Flashback.

Malam itu kami mengadakan syukuran antar karyawan. Walau hanya beberapa anggota saja, merayakan proyek baru yang berhasil kami tuntaskan. Di sebuah restoran di pinggiran sungai kota payung.

Tapi ada satu lelaki yang tak terlihat bahagia, padahal ia yang berperan besar dalam proyek ini.

Habib. Ia bahkan terus berdiri, memegang pagar sungai, sambil terus memandang ke langit malam. Sebenarnya aku ingin sekali menyapanya, karena beberapa hari lalu aku memarahinya atas sikap dinginnya pada sahabatku Haruni. Ada rasa bersalah yang muncul di hatiku.

"Ngapain neng, ngeliat ke situ mulu? Kahwatir ya?" Haruni meyingkut lenganku. lamunanku buyar.

"Enggak apa-apa." Aku berusaha menghilangkan rasa grogiku yang mendadak muncul. Aku ambil segelas jus di depanku.

"Eh, itu punyaku." Haruni malah menyambar gelas ditanganku. "Ni punyamu, makanya jangan melamun."

Aku berdeham. Menahan malu.

Sambil meminum jus jeruk, mataku masih sesekali memandang lelaki dingin itu yang sekarang sedang berjalan menjauh dari tempat kami syukuran.

"Udah samperin aja kalau khawatir." Aku terbatuk. Untung saja jusnya tidak melompat keluar. "Sekaligus minta maaf,kan? Aku juga tadi udah minta maaf, tapi dianya cuman melambaikan tangan." Haruni mengatakan itu sambil mencomot kue.

Kalau Haruni saja yang ku bela sudah minta maaf, bagaimana denganku?

"Aku permisi dulu, ya." Haruni mengangguk. Rekan kerjaku yang lain tidak memperhatikanku mereka sibuk dengan obrolan seru mereka sambil menikmati berbagai makanan enak di atas meja.

Aku berjalan sedikit lebih cepat, sambil terus menatapnya yang sekarang sudah berhenti lagi. Sekitar jarak 3 meter aku berdiri disampingnya.

"Aku..aku.." Suaraku rasanya kalah dengan angin malam yang begitu kuat. Aku ragu ingin menguatkan suaraku lagi dan juga tidak berani untuk lebih dekat dengannya.

"A..aku-" terus menunduk memandang ujung sepatu. "Aku mau minta maaf-" Saat aku berusaha mengangkat kepala dan memandang kearahnya, ia sudah berada dikekatku, satu meter. Aku terkejut lalu berusaha mundur.

"Ada apa?" Tanyanya dingin. Matanya sendu, terlihat sedih. Rasa bersalahku semakin besar.

"Aku minta maaf atas kejadian tempo hari, tak seharusnya aku mengatakannya," kataku terus memainkan bola mata seraya berjalan mundur, karena dia terus berjalan ke arahku.

"Kenapa kamu terus mundur?"

"He?"

Dia memberi isyarat untuk berjalan disampingnya. Aku mengerjapkan mata. Yakin?

"Kau bisa mengatakannya sambil jalan. Sekalian aku mau ambil minum,haus." Katanya sambil memegang leher.

Aku mengangguk paham dan langsung berjalan disampingnya sambil menjaga jarak.

Malam itu ia tidak acuh,ketus atau seperti biasanya. Hanya saja ia tetap misterius bahkan lebih dari biasanya.

Ia tidak lagi bermenung sendiri. Ia berkumpul bersama kami, ikut makan dan sesekali menimpali candaan dari rekan kerja lainnya.

Malam itu aku melihat senyum dan tawanya yang tak pernah ku lihat. Hingga keesokan harnya, ia bersikap ramah dan seolah-olah ia bukanlah Habib yang kami kenal. Kata-katanya lebih manis.

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." Katanya waktu itu.

"Aku? Bareng Haruni juga?" Aku memastikannya, karena bisanya keman-mana kami selalu bertiga dan itu pun urusan kerjaan.

Dia menggeleng. "Cuma kamu." Hatiku berdesir. Kamu?

Hanya kalimat itu yang ia sampaikan. Dia tidak memberitahu kapan dan di mana. Hingga surat dan buket bunga merah di kirimkan ke rumahku. Tanpa nama pengirimnya. Tapi aku menduga itu adalah dia. Habib. 

###

Alhamdulillah akhirnya update juga ^_^. Kamu gitu juga gak sih? (Seneng)

Maaf jika ada typo yang bertebaran. 

Update setiap Rabu

Waiting FoolishlyWhere stories live. Discover now