6. Jaket Yang Sama

92 5 0
                                    

Di sebuah kafe berwarna coklat dengan suasana musik klasik yang menenangkan. Aku pun menerima ajakan Rival lelaki dengan sedikit brewok itu untuk datang ke kafe tersebut.

"Kamu mengenalnya?" pertanyaan pembukaku meminta Rival untuk menjelaskan semuanya.

"Mm." Dia mengangguk setelah meletakkan gelas es cappucinonya. Lalu menyilangkan kaki dan merekatkan jari kedua tangannya. "Kamu juga?"

Aku mengangguk.

"Bagaimana?"

"Dia rekan kerjaku dulu, tapi sudah lama berhenti." Itu karena dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan perusahaan tidak mau memberi penjelasannya atau memang tidak tahu—lanjutku membatin.

"Kamu?"

"Kami adalah teman masa kecil, meski kami beda sekolah, kami juga pernah satu club bola." Ia meraih gelas es cappucinonya kembali. "Apa yang membuatmu melakukannya?"

"Apa?" Aku mengernyitkan dahi. Heran.

"Menunggu di kafe?"

Aku terdiam sejenak. Aku tidak ingin mengatakan alasannya.

"Haruni sudah menceritakannya padaku—"

"Haruni?" Apa yang sudah dikatakan cewek bermulut hulala itu. Aku mendengus. "Semua?" Ia mengangguk pelan--tapi sedikit meragu.

"Jadi, tidak ada yang perlu kamu tutupi." Katanya mantap setelah menghabiskan es cappucinonya.

"Kalau kamu sudah tahu, aku tidak perlu mengatakannya lagi. Jelaskan kenapa kamu berpakain seperti dia?" Ups. Aku seperti kelepasan kata. Aku mengepalkan tangan, menyesal. Seharusnya bukan begitu kalimat pertanyaannya.

Aku melihat Rival mengernyitkan dahi, aku berusaha tetap stay cool. Ia pun melihat penampilannya dan menatap heran ke arahku.

"Apa ini seperti dia?" Tanyanya dengan senyum asimetris.

"Terakhir kita bertemu gaya berpakaianmu tidak begini. Ini bukan bermaksud aku sudah lama mengenalmu, hanya saja—"

"Baiklah." Ia melepas jaket hoodie berwarna coklat tua itu. "Kamu bukan mau bilang berpakaian seperti dia, tapi kenapa aku memakai pakainnya, benarkan?"

Bingo.

Aku tertegun.

"Semua orang bisa saja berpakaian seperti ini, tapi yang membuatmu mengenalinya adalah bajunya. Benar?" Aku hanya diam terus menanti lanjutan celotehannya.

"Memang sewaktu kami masih sering berdua, sahabat karib. Kami sering disalahpahami satu sama lain, ada yang mengira, Habib adalah aku, dan aku adalah Habib. Itu karena kami sering bersama dan terkadang saling meminjam pakaian, ini kalau dalam keadaan urgensi."

Aku hanya diam, apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.

"Karena itulah kamu salah mengira aku Habib—"

"Kamu tahu dimana dia sekarang?" Aku tidak sabar menunggu untuk informasi ini, aku harus memotongnya agar ceritanya tidak panjang.

"Nona Kitty, saya baru saja ingin memulai cerita ini, mohon dengarkan sampai selesai."

"Suatu hari kami juga membeli jaket yang sama. Bukan, bukan karena ingin kompakan. Kami tidak sengaja, sampai pada suatu acara bersama teman lainnya, kami terkejut karena memakai jaket yang sama, persis warna,ukuran,sampai merknya. Kami berdua malu dan diledek, itu wajar. Dan ini jaketnya yang kamu lihat." Dia menunjukkan jaket hoodie coklat tua itu. "Selera kami hampir sama. Kami jugs saling bersaing. Dan tidak pernah bertemu lagi."

Aku terdiam. Apa dia bilang? Tidak pernah bertemu lagi?Apa dia sama denganku? Tidak tahu dimana Habib si lelaki misterius berada?

"Baiklah. Aku masih ada urusan, sampai ketemu lagi." Dia sudah bangkit dari kursi sementara aku masih belum mengerti apa yang terjadi, kenapa begini? Bukannya dia mau bilang kabar Habib, kenapa jadi Bahasa jaket?

"Hey, tunggu. Apa cuman itu?" Dia sudah berdiri mantap ingin melangkah keluar. "Hanya itu."

"Tapi—"

"Aku juga tidak tahu dimana dia. Permisi."

Aku menghela nafas panjang dan mendengus kesal. Setelah itu aku mengambil ponsel dan menelpon Haruni, ia harus jelaskan atas dasar apa dia menceritakan masalah pribadiku pada Rival.

###

Lanjut bab berikutnya...sudah update sekaligus. Terakhir, nanti ada pesan misterius dari Auhtornya. Nantikan!

Waiting FoolishlyWhere stories live. Discover now