12. Isi Hati Maryam

55 5 0
                                    


Typooo...boookkk....belum sempat edit...kejar tayang...

###

Aku bukan wanita yang sempurna. Tapi aku berusaha untuk menjadi yang terbaik buat Bang Rival. Lelaki yang sejak aku mengenal cinta, lelaki yang sejak aku menjatuhkan hati padanya. Dia sangat perhatian juga ramah. Awalnya aku kagum padanya dan sangat ingin dekat dengannya karena ia teman Kakakku. Dia sering bermain dan mengunjungi rumahku. Termasuk sering main ke rumah penginapan usaha Papa dan Bunda. Aneh, padahal aku adalah adik Kak Dean meski beda ibu, tapi aku justru lebih dekat dengan Bang Rival.

Tapi, kedekatan aku dan Bang Rival membuatku menuntut lebih. Hingga aku menyadari ada sebuah kalimat yang menghentakku.

"Kenapa ya, aku begitu memikirkan Bang Rival? Padahal dulu biasa aja. Bahkan kalau dia sedang dekat dengan cewek lain aku malah marah, gak suka—"

"Itu namanya kamu lagi 'jatuh cinta' sama dia."

Kalimat itu menyengatku, membuat pipiku merah merona.

Jatuh cinta, kah?

Aku berusaha mencari definisinya. Pengertian, gejala dan segala hal yang menyangkut tentang hal itu benar terjadi padaku. Membuat detak jantungku semakin tak beraturan.

"Maryam?" Sapa Bang Rival suatu hari ketika berkunjung ke rumahku. Saat itu, Kak Dean pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu, Bang Rival mengajakku bicara sebentar.

"Y-ya?" Sejak temanku mengatakan 'jatuh cinta' sikapku justru lebih sering gugup dari biasanya.

"Minggu depan abang mau ke Pekanbaru, ada acara reuni, kamu mau ikut?" Aku terkejut.

"Pergi?"

"Iya."

"Tapi,...." Aku ragu, bukan karena tidak mau, hanya saja, aku ingin tanya 'kenapa harus aku?', dan aku takut mendengar alasannya.

"Tapi? Tapi kalau Kakak mu izinkan?"

Saat itu Kak Dean sudah kembali dari kamarnya, "Aku tidak izinkan—"

"Wuaah tumben ikut nimbrung obrolan kami—" Bang Rival bicara seakan tidak ada yang terjadi dengan perubahan sikapku, apa dia kurang peka?

"Aku diperintahkan untuk mengawasinya, itu berarti aku harus ikut, dan aku tidak mau." Kali ini aku justru terkejut mendengar kalimat dari Kak Dean, dia khawatir padaku atau tidak?

"Kakak yang baik."

"Diamlah."

Aku pun kembali ke dapur sambil membawa nampan setelah selesai menaruh cemilan dan teh hangat untuk mereka.

***

"Aku tidak mau jadi adik kecil abang lagi!" Kataku tegas, suatu hari.

"Kenapa? Kamu juga benci pada abang—"

"Tidak," aku berusaha tersenyum, ku tarik sedikit ujung baju Bang Rival, sambil menunduk malu aku mengatakannya, "aku mau jadi satu-satunya perempuan yang kakak sukai, bukan sebagai adik perempuan lagi, tapi sebagai wanita."

Bang Rival tidak berekspresi apa-apa, wajahnya datar. Ia melihat jariku yang menarik ujung bajunya.

"Maryam. Kamu selamanya akan menjadi adik perempuan abang." Katanya seraya tersenyum yang tampak tulus, tapi tidak matanya.

***

"Kamu menyerah?" Komentar temanku, ketika aku curhat padanya.

Aku hanya diam.

Waiting FoolishlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang