11. Terluka

56 5 0
                                    

Mohon maaf jika ada typo

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mohon maaf jika ada typo. Kebenaran hanya milik Allah dan kesalahan ada pada author.

***

Selepas sholat isya.

Ku buka mukena perlahan sambil menahan sakit di pipi.

Segera aku ambil kompresan air dingin dan memijatkannya perlahan ke pipiku yang sakit.

Sudah ku bilang kan, jika tidak di jelaskan semua akan salah paham dan lihat, aku terluka.

***

12 jam yang lalu.

Aku untuk pertama kalinya sampai di kantor tempat proyek kerjaku berlangsung. Apa profesiku? Maaf, aku tidak bisa memberitahumu, ini rahasia perusahaan.

Rival menjadi guide-ku dan memperkenalkan aku dihadapan para pekerja yang sedetik kemudian menghentikan aktivitas mereka bekerja ketika aku baru saja sampai di ruangan.

"Selamat Pagi, Pak Rival."

"Selamat Pagi semua." Lelaki yang tinggi dengn sedikit brewok itu dengan penuh wibawa siap menyampaikan sesuatu penting. Aku berdiri di samping Rival sambil mengitari pandanganku ke mereka. Wajah-wajah mereka membuatku jadi ikut semangat.

"Hari ini, saya akan memperkenalkan konsultan baru di perusahaan ini. 6 bulan kedepan ia akan mengontrol dan memberikan arahan khusus nantinya kepada para pekerja—"

"Maaf, Pak," salah satu pekerja,laki-laki, mengangkatkan tangan, "saya mau nanya—"

"Belum waktunya untuk bertanya, jadi dengarkan dulu, setelah itu baru saya beri kesempatan bertanya."

Laki-laki itu mengangguk.

Aku seketika merasa tidak enak. Ku kira wajah pekerja itu akan cemberut, tapi di malah senyum-senyum malu sambil mengusap tengkuknya.

"Namanya Bu Kitty, dia konsultan yang saya maksud," Rival memberi kode padaku untuk menyapa mereka.

"Selamat Pagi semuanya, Saya Kitty, konsultan baru disini. Mohon kerjasamanya," salamku sambil memberi tersenyum terbaikku.

"Pagi, Bu Kittyyyy..." Mereka menjawab serempak, membuat ruangan terasa menggelegar. Ketika namaku di sebut dengan suara para pekerja yang notabene laki-laki membuatku merinding, seakan bukan sapaan, tapi sebuah ancaman—bercanda.

Rival pun menjelaskan prosedur kerjasama 6 bulan ke depan bersamaku. Aku lebih banyak menyimak dan sesekali berbicara jika lelaki brewok itu menyuruhku bicara.

Dan saatnya bertanya.

"Baik, ada yang mau ditanyakan sejauh ini?"

Suara riuh rendah pun memenuhi ruangan.

Mereka saling berbisik, ingin bertanya apa.

"Pak," salah seorang dari mereka mengangkat tangan, yang lain langsung fokus kepadanya.

Waiting FoolishlyWhere stories live. Discover now