15. Keputusan Mendadak

56 7 0
                                    


Sesampai di kafe lantai paling atas, tempat dimana aku pertama kali berjumpa dengan Haruni waktu itu berkunjung ke Malang, tempat penginapan ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sesampai di kafe lantai paling atas, tempat dimana aku pertama kali berjumpa dengan Haruni waktu itu berkunjung ke Malang, tempat penginapan ini.

"Ada apa?" Aku langsung to the point, tak ingin membuang waktu. Wajah Rival tampak serius.

"Aku sudah mempertimbangkannya matang-matang. Dan Pak Rafi juga sudah menyetujui keputusan ini, jadi ini bukanlah hal yang bisa di nego kembali." Kata Rival membuka pembicaraan ini. Aku bingung maksud pembicaraan lelaki brewok itu yang sudah hampir memenuhi mukanya tapi tetap rapi dengan hanya menyisakan kumis tipis.

"Keputusan? Apa?" Firasatku tidak enak. Apa ini mengenai kinerjaku yang kurang baik?

"Kita akan pindah penginapan, dan besok kita sudah harus siap-siap." Mataku membulat, apa? Pindah?

Jika diingat lagi, ini sudah kedua kalinya Rival mengatakan akan memindahkan lokasi penginapanku, uhmm penginapan dia juga maksudnya.

"Kenapa mendadak sekali?"

"Bukankah 2 bulan yang lalu, aku pernah mengatakannya?"

"Aku tahu. Tapi, apa alasan terbesarnya?"

Rival hanya menunduk diam. Jika Pak Rafi saja menyetujui keputusannya, lalu penjelasan apa yang ia sampaikan, tidak mungkin mengarang bebas, atau dia mengatakan tentang permasalahan awal aku berada disini? Itu sudah lama terjadi, dan kini aku justru semakin akrab dengan Maryam, dia bahkan sudah menganggapku sebagai kakak perempuannya sendiri. Bagiku yang tidak punya adik ini, sangat senang jika punya adik seperti Maryam.

"Ini untuk kebaikanmu. Aku juga sudah menyampaikan ini dengan Bunda, dan juga lainnya—"

"Dengan Maryam?"

"Aku belum mengatakannya." Kata Rival dingin.

"Setidaknya, beri tahu aku jauh-jauh hari biar lebih siap."

"Aku sengaja memberi tahumu sekarang, agar tidak ada perubahan pikiran."

"Kamu berpikir begitu?"

"Tentu saja, melihat kamu sudah nyaman disini—"

"Kamu tahu, kan. Aku sudah nyaman disini, punya keluarga baru di sini, tapi kamu malah...." Aku kehabisan kata-kata.

"Maaf, Kitty. Tapi, jika kamu tidak mau aku terpaksa mengenaimu sanksi kontrak, jika tidak mematuhi keputusan ini."

What? Rival? Kenapa dia begini? Meski kata-katanya tajam. Tapi wajahnya kelihatan sendu, seakan bukan itulah perkataan dari hatinya, aku yakin ia berusaha mencari cara agar aku mengalah.

Kami saling diam.

Sesungguhnya, proyek ini aku tidak begitu banyak ikut campur memutuskan banyak hal, termasuk memilih penginapan ini. Jika Rival sebegitu kerasnya ingin pindah ke tempat penginapan lain, pasti ada alasan tertentu.

Waiting FoolishlyWhere stories live. Discover now