8. Menyebalkan

109 5 0
                                    


Aku merasakan kebodohan yang begitu besar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku merasakan kebodohan yang begitu besar. Entah karena perasaan yang begitu dalam menutup mataku untuk melihat masa depan sesungguhnya. Masih tergerus oleh masa lalu yang mengharapkan masa depan sesuai dengan yang kuinginkan. Aku lupa sudah ada orang yang terdekat yang ingin aku berubah dan move on dari semua ini. Atas perasaan yang tak seharusnya secepat itu aku terjemahkan. Padahal aku sudah berusaha agar tidak jatuh pada yang namanya 'cinta', sehingga istilah apa yang aku sebutkan sebelumnya? Sedekah waktu? Salah, aku tahu apa istilah yang tepat, yaitu penantian yang bodoh.

Aku sudah menghapus air mataku.

Tadi ketika sudah sampai di toilet, aku jadi kehilangan mood untuk menangis disana. Ramai, jorok dan bau yang tak menyenangkan. Ya ampun, aku sudah seperti anak kecil. Aku ambil tisu dari tas lusuhku dan ku hapus air mataku. Memandang ke atas berharap air mata ini tidak jatuh lagi. Aku langsung teringat. Sudah 5 menit waktu berlalu, waktu check in tinggal 10 menit lagi.

Baiklah, lupakan tentang ini. Mengalah. Jika memang ini sudah rencana Haruni dan dia senang rencananya berhasil, maka biarlah. Aku masih belum bisa berpikir jernih, hatiku masih terasa sesak karena kecewa, izinkan aku untuk tetap marah padanya, tapi aku bukan anak kecil yang merajuk lalu membatalkan perjalanan ini. Sudah kadung di kontrak, jalankan, mana tahu ada baiknya. Aku pun berjalan menuju Haruni dan Rival di lantai 2 yang tampak lega melihat aku kembali. Tanpa banyak kata, aku menarik koperku dan mengajak Rival lelaki dengan sedikit brewok itu.

"Ayo, waktu kita tidak banyak." Aku tahu akulah yang sebenarnya telah membuang waktu. Rival mengangguk, lalu pamit pada Haruni.

Aku tidak menoleh ke arah Haruni. Tapi, aku melirik sedikit dia melambaikan tangan dengan matanya yang basah. Dia menangis?

Aku juga ikut melambai dari belakang walau tak begitu semangat.

***

Selama terbang mesin pesawat membuat telingaku terasa sakit, meski sudah memakai penutup telinga. Dalam pikiran yang begitu berat, aku berusaha untuk tidur dan membawanya ke alam mimpi. Rival ketika naik ke dalam pesawat tidak banyak bicara, lebih kepada menawarkan dirinya untuk menaikkan bawaanku ke kabin pesawat, selebihnya hanya diam. Kami juga duduk di deretan yang sama. Aku di jendela pesawat, sedang ia di gang. Ditengah-tengah kami kosong, entah memang tidak ada yang memilih tempat ini, atau sebenarnya penumpangnya gagal berangkat karena telat check in? Lupakan. Banyak hal penting yang kupikirkan dan mood-ku sedang tidak baik.

***

Sesampai di bandara Abdul Rachman Saleh--Malang, kami di sambut oleh seorang lelaki paruh baya yang tingginya tidak lebih dariku. Ia memegang kertas karton bertuliskan "SELAMAT DATANG TUAN RIVAL DAN NYONYA KETI". Waduh, namaku salah, tapi ya sudah yang penting yang dimaksud itu aku, kan?

Tapi tunggu, 'Nyonya'? What?

"Selamat datang di Malang, Tuan Rival." Lelaki itu menyalami Rival mereka sudah tampak akrab.

"Terima kasih, Pak Suri. Ah ya, perkenalkan ini—"

"Nyonya Keti, kan?" Tanyanya padaku, aku mengangguk tersenyum, namaku masih aja salah sebut. "Selamat datang di kota Malang, Nyonya Keti."

"Terima kasih, Pak Sorry." Kataku dengan logat inggris dan senyum yang sedikit dipaksa, mood-ku makin buruk.

"Eh?" Rival dan lelaki paruh baya itu menatapku heran.

Aku juga ikut heran, aku ada salah?

***

Aku, Rival dan Pak Sorry maksudku Pak Suri, naik mobil menuju tempat penginapan. Sesuai kontrak aku akan berada di Malang selama 6 bulan. Bisa kurang bisa juga lebih sesuai kinerja. Ada proyek kerjasama yang sudah dijelaskan Haruni padaku, jauh-jauh hari malah. Dan aku baru bisa menerima kontraknya.

Selama perjalanan Pak Suri bercerita banyak, memperkenalkan kota Malang. Mood-ku masih belum baik, kecewa, sedih, jet leg. Duh, pokoknya tidak nyaman. Dan aku ingin segera sampai di penginapan, ganti baju mandi, sholat dzuhur karena waktunya sudah tiba--perjalanan terbang dari Pekanbaru ke Malang transit Jakarta dulu sekitar 2 jam lebih--mudah-mudahan aku lebih fresh dan mood-ku membaik.

Aku sampai di penginapan kira-kira setengah jam dari bandara. Suasana sejuk dengan nuansa hijau asri yang begitu indah menyambut kehadiranku. Baiklah, persen mood-ku bertambah. Pak Suri dan beberapa lelaki berseragam—mungkin pelayan penginapan ini, mengambil barang-barang kami dari bagasi mobil.

"Selamat datang, Tuan Rival dann....." Seorang wanita paruh baya dengan wajah chubyy dan bibir yang merah karena lipstiknya menyambut kami. Aku masih canggung dengan suasananya.

"Kitty, Bund." Rival menyambung.

"Ah ya, Nyonya Keti." What? Aku memandang sinis Rival. Dia hanya mengangkat bahu.

Setelah itu, Rival pamit denganku katanya kamarnya di sebelah barat. Aku menganguk, silahkan.

"Ayo, Nyonya Keti, ikut Bunda." Wanita paruh baya itu meraih tanganku. Lembutnya tangan.

"Baik, Bund." Aku jadi ikut-ikutan panggil 'Bunda' karena belum tau harus manggil apa. Salah seorang pelayan lelaki membawa koper dan bawaanku.

Sepanjang perjalanan menuju kamarku, Bunda bercerita banyak tentang penginapan ini. Mulai dari hal yang menyenangkan hingga menyebalkan katanya.

"Menyebalkan?" Kutanya. Basa-basi daripada diam saja.

"Iya, nanti kamu juga tau."

Baiklah, aku mengerti, akan ada hal bahkan orang di sekitar kita yang akan menyebalkan, yang punya level menyebalkannya masing-masing.

"Nah, ini kamar Nyonya Keti dan ini kuncinya." Bunda berhenti di salah satu pintu kamar, lalu memberikanku sebuah kartu seukuran kartu kredit.

"Terima kasih, Bund."

"Jika minta bantuan, tekan ajal tombol merah di dalam kamar yang dekat pintu, itu langsung menuju ke bunda, tidak semua kamar yang punya hanya khusus tamu VIP aja." Jelas Bunda semangat.

"Benarkah? Wah, saya merasa sangat terbantu, terima kasih banyak, Bunda."

Bunda pun pamit, pelayan itu meninggalkan koper dan bawaanku di pintu masuk kamar, aku berterima kasih dan ia pun pamit.

Aku segera membuka kamarku, tidak sabaran ingin membesihkan diri. Tapi ketika akan masuk dan menyeret koper, ada yang menahannya.

"Tunggu." Aku memandang heran.

Seorang wanita berkulit putih, badannya berisi, rambut ikal yang di kepang dua dan dengan nafas yang tersengal ia menahan koperku. Kapan dia sampainya? Aku tidak mengenalnya.

Aku menarik kuat koper, tapi ia justru semakin kuat lagi menahan koperku. Menyebalkan, kenapa jadi begini?

"Siapa? Ada urusan apa?" Aku menatap dia kesal.

"Kita ada urusan, ikut aku." Katanya dengan senyum sinis.

Aduh, siapa pula ini. Aku ingin mood baik ku kembali, tidak ada waktu menundanya, atau hal buruk akan terjadi.

Bersambung...

***

Alhamdulillah, bisa update tepat waktu kali ini. Kamu senang gak? ^_^ yeaaay.

Maaf jika masih ada typo bertebaran dan kalimat yang sedikit rancu, masih belum bisa edit lebih mendalam sedalam lautan. 

Baiklah, mungkin kita semua penasaran siapa sosok menyebalkan di akhir cerita di bab ini--author pun juga ingin tahu. What?

Sampai ketemu Rabu depan ya ^_^.

(Mau mandi dulu)


Waiting FoolishlyWhere stories live. Discover now