7. Di Bandara

95 5 0
                                    


Aku menceritakan semua hal yang terjadi di kafe antara aku dan Rival. Haruni terus mendengarkan dengan seksama tanpa ada bantahan atau interupsi seperti biasanya.

"Kamu baik-baik saja?" Komentarnya setelah aku bicara panjang lebar dan dengan nafas yang tersengal seperti habis jogging.

"Kenapa?" Tanyaku dengan mimik wajah tidak senang.

"Seharusnya kamu baik-baik saja. Dan seperti kamu bilang, akan terdengar konyol jika alasanmu menunggu hanya pradugamu sendiri." Jelasnya panjang lebar. Aku terdiam. Sebenarnya aku sudah melakukan hal bodoh apa sih? Kenapa ini menjadi masalah yang besar bagiku. Aku menggaruk-garuk kepalaku dengan kasar.

"Sudah lupakan—"

"Semudah itu?" Tanyaku tidak percaya.

"Lalu, kamu mau mengingatnya sampai mati, begitu?!" Pertanyaan Haruni dengan wajah melotot.

Aku mendengus kesal.

"Sudah, cepat selesaikan baju-bajumu ini. Trus, koper di pojokan sana bawa kesini biar gak kececer." Katanya sambil nunjuk-nunjuk sudah mirip majikan. Aku melotot kesal padanya. Kenapa dia belagu begitu?

Dia langsung nyengir. Demi kebaikanku ngelesnya.

***

Pagi ini sebenarnya aku masih ngantuk. Dan mataku sempat membengkak lalu Haruni yang semalam menginap di rumahku membantu packing barang-barangku ke Malang, sudah ngomel-ngomel ketika meriasku.

"Tu, mata udah mirip kayak mata panda." Aku cuman diam, menurut sama tingkahnya. Mulutnya masih saja bawel dengan tangan yang masih gesit mendadaniku. "Disuruh tidur, istirahat. Malah mewek." Bawelnya.

"HA-RU-NI!" Kataku dengan gigi rapat. Dia langsung nyengir, kembali normal.

Mengingat kejadian tadi pagi membuatku semakin ingin tidur saja, berharap ini semua mimpi.

"Neng, turun. Sudah sampai." Candaan Haruni ketika kami sudah sampai di bandara. Dia lalu, mengambil koperku dari bagasi mobil.

"Sudah pas." Komentarku. Dia membuka kaca mata dan menyipitkan matanya kepadaku secara tajam.

"Mana tiketmu?" Tanya Haruni sambil mendorong koperku.

"Ini, di tas." Jawabku dan mencari-cari tiketnya dibalik tas yang sudah mirip kantong doraemon.

"Biar sekalian aku check in kan bareng." Katanya setelah menerima tiketku. Aku mengernyitkan dahi?

"Bareng siapa?"

"Nah, itu dia orangnya."Tunjuk Haruni dengan mulutnya yang bawel itu. Aku seketika terdiam, membeku, tidak tahu harus berkomentar apa.

"Rival?!"

"Hai. Sudah check in?" Rival entah bertanya pada siapa, mungkin padaku. Aku diam saja. Tidak sanggup jawab apa-apa. Ini masih pagi buta dan aku belum sarapan, tidak punya tenaga yang cukup untuk menghadapi keterkejutan ini. Haruni penyihir, pasti dia sudah merencanakan ini dan menyembunyikannya dariku.

"Baru aja sampai." Itu Haruni yang jawab.

"Ya sudah, bareng." Rival mengajak kami berdua.

Ketika sampai di lorong menuju pengecekkan barang sebelum ke ruangan counter check in. Haruni menarik tanganku, sedikit menjauh dari Rival lelaki putih dengan sedikit brewok itu.

"Ini tiketmu dan juga tasmu ya. Aku bertugas sebagai supir cuman sampai disini. Baik-baik di jalan ya. Dan juga semoga kamu dapat moment bahagia di Malang, tempat yang baru."

Aku tidak bersemangat, bertolak belakang dengan Haruni yang senyum-senyum bahagia.

"Kamu pasti yang sudah merencanakan ini, dan juga." Suaraku tercekat. "Dan juga, yang di kafe itu."

Dia terdiam. Melihat ekspresi wajah tak senangku.

"Kitty." Katanya pelan dengan wajah merasa bersalah.

"Seharusnya aku sudah menduga. Tak mungkin Rival tau tentang ceritaku di kafe itu dan tentang jaket hoodie itu. Semuanya, sudah kamu rencanakan. Dan bodohnya aku, sudah bercerita panjang lebar padamu dan menerima tawaran ke Malang ini. Apa maksudmu, hah?" Aku dari tadi sudah berusaha untuk tidak emosi. Tapi, ini sungguh sakit. Aku di tipu oleh sahabatku sendiri.

"Kitty, kamu salah—"

"Ya, kamu benar." Kataku mantap. "Aku sudah salah paham. Salah menilai semuanya darimu." Aku pergi meninggalkan mereka. Rival sudah mendekat ketika mendengar suaraku yang sedikit keras pada Haruni.

"Ada apa?" Pertanyaan Rival aku abaikan. Aku turun ke lantai dasar menuju toilet. Aku butuh waktu sendiri.

###

Karena Minggu lalu aku tidak bisa update untuk Bab sebelumnya. Jadi pada minggu ini, aku update 2 bab sekaligus untuk kamu, Duhai Pembacaku (asyiiik). Kamu senang gak? Apa? Kamu kangen Habib? Ya, ya, nanti ya. Makanya ikutin terus ceritanya, biar Authornya semangat buat nerusin cerita cinta tak jelas dua sejoli antar Kitty dan Habib. Eh Rival? Namanya juga 'Rival' ya bakalan jadi rival-nya Habib-lah. Yuk selesaikan, salam-salamnya.

Nantikan episode berikutnya ya....bye...byee.....(cusssss langsung tidur)

Waiting FoolishlyWhere stories live. Discover now