3. Mimpi yang Sama

10.9K 683 102
                                    

Cahaya itu sejenak membutakan mata, hingga perlahan Mey mulai mengenali sekelilingnya. Hiasan-hiasan dinding antik tua yang duduk berdampingan bersama aneka boneka, menghuni ruangan gelap dengan dinding berlapiskan cat putih, masih bisa ia lihat dengan bantuan seberkas cahaya mentari pagi, yang menyampaikan isyarat waktu melalui celah gorden cokelat tuanya.

Di tempat itulah kini ia berada, berpindah dalam sekejap mata dari hutan hidup yang baru saja menjeratnya dalam ketakutan. Jajaran batu-batu nisan itu kini tak lagi di sana, tidak pula pepohonan yang melingkar-lingkarkan akar dan ranting mereka pada kaki Mey. Perempuan asing bertangan cahaya itu pun lenyap seketika. Semua berubah, kecuali detak jantung dan napasnya yang masih tak beraturan.

Mey mengangkat tubuhnya hingga terduduk, melipat lutut dan mendekapnya erat. Memberikan ruang kecil bagi wajahnya untuk membenamkan diri, mengatur napas dan menormalkan kembali detak jantungnya.

"Mimpi yang sama?" Zen bertanya sambil menempelkan punggungnya pada pinggang Mey.

Mey hanya menjawab dengan sebuah anggukan tanpa melepaskan posisi wajahnya yang masih terbenam.

Zen hanya melirik tipis, lalu lanjut menjilati tubuhnya untuk merapikan bulu-bulu cokelat yang kusut akibat gulingan-gulingan ketika tidur. Matanya masih setengah terpejam enggan beranjak dari rasa kantuk. Ekor rubahnya mengibas-ngibas di atas kasur. Kaki kanannya ia gunakan untuk menggaruk-garuk pinggir moncong rubahnya, sementara tangan kirinya yang menyerupai tangan kera ia gunakan untuk menggaruk-garuk bagian tubuhnya yang lain.

Ah, kalian perlu tahu bahwa semua penggambaran itu tidak bersifat ejekan atau perumpamaan apa pun. Zen, sahabat Mey itu memang seekor hewan aneh yang memiliki kepala rubah, kaki kelinci, dan tangan kera, dengan ukuran sekitar dua kali lebih besar dari ukuran kelinci biasa.

Delapan tahun lamanya Zen telah menjadi sahabat Mey. Tepat sejak hari ulang tahunnya yang ke delapan, di mana orangtuanya menghadiahkan Zen sebagai hadiah terspesial yang pernah ia dapatkan.

Mey kecil, dengan polosnya membawa makhluk aneh yang menurutnya lucu itu ke sekolah. Hari itu, pertama kali ia membawa Zen ke sekolah, ia dengan riang memperkenalkan Zen kepada kawan-kawan sekelasnya, hanya untuk mendapati dirinya mulai dijauhi dan dikucilkan.

***

"Hai, Zen. Sini main sama kakak." Airin, teman sekelas Mey di Sekolah Dasar dengan riangnya memangku Zen. Ana, Resti, dan Jane saling berebut ingin memangkunya bergantian.

Zen yang ketika itu belum bisa bicara hanya memainkan kepalanya manja, mengelus-eluskan bulunya kepada setiap tuan yang menjadikan tangannya sebagai tempat bermain.

Mey memperhatikan mereka, bangga karena memiliki peliharaan yang tak dimiliki kawan-kawannya yang lain.

"Kamu dapat boneka lucu ini dari mana, Mey?" tanya Ana yang baru saja mendapat giliran bermain dengan Zen.

Mey mengernyitkan dahi sejenak, "Boneka? Sembarangan kamu! Zen itu temanku. Papa yang beliin pas hari ulang tahunku kemarin."

Mendengar pengakuan Mey, keempat kawannya seketika menghentikan keriangan pagi itu, terlihat bingung untuk melanjutkan permainan mereka.

Mey kecil cemberut kesal. "Sini, Zen. Kamu main sama aku aja." Ia mendengus sambil merebut Zen yang terlihat kebingungan untuk melanjutkan kemanjaannya di atas pangkuan Ana.

Sejak kejadian pagi itu, Mey mulai merasakan ada perbedaan. Teman-temannya mulai terlihat canggung ketika berbicara dengan dirinya, apalagi ketika ia membicarakan tentang Zen.

***

Mey masih berusaha mengatur ritme detak jantung ketika sebuah ketukan pintu mengagetkannya, diikuti suara lembut dengan dialek sunda yang khas, suara yang secara konsisten menyapanya tepat pukul 07:00 WIB di setiap harinya, "Neng, sudah waktunya makan." Suara Bi Cicih, pembantunya.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang