8. Surat Misterius

3.1K 325 52
                                    

9 Maret 2018, satu bulan sejak tanggal terbit puisi Risma di koran nasional.

Tak ada kekekalan sejati yang menetap di ekosistem bumi. Manusia lahir dan mati, air laut pasang dan surut, lempeng bumi bergeser setiap saat, siang berganti malam, penghujan berganti kemarau.

Namun hebatnya, setiap kehidupan yang tinggal di dalamnya diberi insting untuk beradaptasi dan bertahan hidup. Mangsa dan predator membentuk rantai makanan, melengkapi sebuah keseimbangan yang terbentuk secara sempurna dengan pola yang amat rumit. Apa peran manusia di dalamnya selain sebagai perusak? Faktanya, manusia tidaklah memelihara bumi. Mereka hanya memanfaatkannya untuk menyelamatkan eksistensi manusia itu sendiri.

"Efek rumah kaca."

Dahi Risma mengerut, menatap Euis heran. Mereka masih terduduk di atas kursi kayu panjang di depan ruangan kelas, menanti redanya hujan.

"Biasa aja lihatnya, Ma. Kamu gak tahu efek rumah kaca?"

"Ya, inget-inget lupa sih. Heran aja kok tiba-tiba kamu ngomongin itu. Kerasukan si Adit--siswa langganan nilai terbesar di kelas XI?" ucap Risma sambil tertawa kecil.

"Kamu masih inget waktu SD kita pernah belajar kalau musim hujan itu berlangsung dari Oktober sampai Maret? Nah, sekarang udah Maret tapi sama sekali gak kelihatan musim kemarau bakal dateng bulan depan. Iklim bumi udah gak menentu, Ma. Efek pemanasan global ini."

Risma tersenyum tipis mendengar kalimat sahabatnya. "Jauh sebelum kita lahir, malaikat udah memrediksi kalau manusia cuma bakal berbuat kerusakan, Is. Albaqarah ayat tiga puluh."

"Kalau dipikir-pikir, semua yang manusia lakuin, inovasi-inovasi yang diciptain, ujung-ujungnya malah nyerang mereka sendiri."

"Fix, kamu kerasukan si Adit."

"Ih, sekali-kali aku ngomong bijak gak boleh apa? Kalau ngomongin dalil-dalil Alquran sama hadits iya deh aku kalah dari kamu, Ma. Tapi inget, di sekolah aku masih dua ranking di atas kamu."

"Ranking sepuluh aja sombong!" sindir Risma masih dengan tawa kecilnya.

"Lah, daripada kamu sepuluh besar aja gak pernah masuk!" Euis dengan tampang cemberutnya tak mau kalah.

Lagi-lagi Risma membalas dengan tawa kecil.

"Eh, desas-desusnya si Adit suka sama kamu, ya?"

"Yaelah, gosip. Kenapa juga tiba-tiba ngobrol ke sana?"

"Ciye Adit. Ekhem. Siapa juga yang mulai nyebut nama itu?"

"Apaan sih?"

"Yaelah, emang kenapa? Dia kan ganteng, pinter lagi."

"Lah, terus?"

"Cocoklah sama kamu. Kamu kan cantik, meskipun gak secantik aku."

"Aku gak pinter."

"Kan saling mengisi, Ma. Dia pinter pelajaran, kamu pinter ngaji. Klop!"

"Apaan sih? Cowok aja diurusin! Harom tau!"

"Iya deh, iya, Bu Ustazhah!"

Sementara itu, perlahan langit mulai memberikan ruang bagi mata dan telinga untuk lebih bisa berinteraksi dengan objek selain hujan. Deru air yang menghantam genteng sekolah terdengar lebih pelan. Lebat hujan yang menghalangi pandangan mulai menipis hingga gerbang sekolah terlihat lebih jelas di ujung sana.

Tepat dari arah gerbang itu, terlihat seorang siswa berlari menembus hadangan rintik sambil menutupi kepalanya dengan tas sekolah.

"Eh, panjang umur si Adit. Kayaknya dia mau ke sini deh." Euis berkata sembari menepuk pundak Risma.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang