7. Emak

3.4K 331 63
                                    

Langit adalah istana tanpa raja
Mentari hanyalah menteri cahaya
Bulan dan bintang hanyalah kabinet malam

Bumi adalah negara tanpa penguasa
Lautan adalah distrik para ikan
Daratan adalah teritori makhluk melata

Manusia adalah antagonis dari mereka
Makhluk mortal yang tak bermoral

Tak ada kuasa antara mereka
Tanpa kuasa Pencipta Semesta

Tinta hitam mengalir begitu saja dari dalam pena, membentuk tulisan-tulisan di atas kertas putih yang kemudian ditindih kembali oleh gores tinta yang menyilang.

Ah, puisi macam apa ini? Diksinya jelek. Risma mengembuskan napas asal sambil terduduk di depan meja belajarnya yang menghadap langsung ke arah jendela. Langit mulai hitam, menghalangi terang untuk mencapai masjid yang berada tepat di seberang jalan, berhadapan langsung dengan rumahnya. Masjid itulah tempat Risma mengajarkan iqra kepada anak-anak usia TK dan SD.

Ia merasa sangat beruntung memiliki kesempatan untuk berbagi kepada sesama. Sebagai seorang Risma yang sejak masa kecilnya miskin akan prestasi akademik, menjadi seorang pendidik adalah sebuah hal yang sangat berarti. Setidaknya ia masih bisa memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dengan keilmuannya yang sangat minim. Karena keinginannya itu pulalah ia bermimpi ingin menjadi seorang penulis, meski hingga saat ini belum ada satu karya pun yang berhasil dimuat di media cetak ataupun online.

Melihat generasi muda yang setiap harinya berlalu melewati jalanan berbatu depan rumahnya dengan suara knalpot yang sengaja dibuat bising, hatinya seringkali terasa miris. Ia melihat hal itu setiap hari. Anak-anak usia SMP yang sejatinya dibelikan fasilitas kendaraan untuk menuntut ilmu, malah memanfaatkannya untuk hal-hal yang tak berfaidah.

Andai tetangganya mengadakan hajatan dengan mengundang artis dangdut, suasana kampungnya mendadak ramai, jangan ditanya lagi soal pemuda yang mabuk-mabukan. Sementara mereka tahu bahwa di dekat sana, ada sebuah bangunan masjid yang semakin hari semakin sepi.

Risma, sebagai satu di antara kurang dari sepuluh pemudi yang masih setia mengikuti pengajian mingguan di masjid itu mendapat kepercayaan mengajar iqra. Tidak mengejutkan sebetulnya, mengingat Ajengan Imran yang menjadi guru ngajinya sudah mengenal pribadi Risma sejak kecil, tepatnya saat Risma pindah dari Jakarta sekitar delapan tahun yang lalu, dan sejak saat itu Ajengan Imran telah melihat kelebihan Risma dalam tilawah Alquran.

Risma membuka lembaran lain dari bukunya. "Cara daftar nomor whatsapp." Risma bergumam pelan membaca tulisan Euis yang terdapat di sana, kemudian ia mengambil ponsel yang baru saja ia beli dari Rif'an. Diikutinya langkah demi langkah pendaftaran nomor whatsapp yang tertulis di buku itu.

Bingo! Ia berhasil melakukannya. Mudah ternyata, gumamnya dalam hati.

Ia menghela napas kasar, kemudian menatap ke balik jendela, di mana langit mulai menurunkan rintik, menitipkan gusar yang perlahan menyelimuti benaknya melalui suara tetesan air yang berjatuhan menimpa genteng rumah. Suara itu semakin nyaring terdengar. Ia melirik jam dinding yang menatapnya kaku, 17: 06 WIB, Emak masih belum pulang

Hujan, pesan apa yang hendak kau sampaikan sore ini? Risma termangu sejenak, menatapi tetesan-tetesan yang terhalang kaca untuk memasuki kamar. Ia melayangkan pandangan ke berbagai penjuru yang dapat ia jangkau melalui kaca, berharap dari salah satu sudut ia bisa mendapati emaknya pulang.

Sadar akan sesuatu, tiba-tiba Risma berlari menuju dapur yang tak jauh dari kamarnya di dalam rumah panggung yang berukuran tak lebih dari 120 meter persegi. Ia tahu betul letak benda yang ia hendak pastikan keberadaannya, dan benda itu tepat berada di salah satu pojok di dapur sempitnya. Emak lupa bawa payung.

Risma mengambil dua buah payung yang teronggok di sana, kemudian melangkah keluar melalui pintu dapur dan membukakan salah satu payung itu. Ia mulai mengayunkan langkah pertamanya menapaki tanah basah. Beberapa detik ia menyempatkan diri menatap langit gelap di atasnya, senyum tipis tersimpul di wajahnya. Terima kasih hujan. Tak kan kusia-siakan kesempatan sekecil apa pun untuk berbakti pada Emak.

***

"Nuhun, Ma. Padahal Emak juga lagi berteduh tadi teh," ucap sang ibu pada putrinya, sesaat setelah ia keluar dari kamarnya usai mengganti gamis yang tak terhindar dari basah meski telah terlindung payung.

"Gak apa-apa, kok, Mak." Risma membalas diiringi seiris senyum. Ia sendiri telah lebih dulu siap dengan setelan gamis lebar berwarna krem, selaras dengan kerudung yang ia kenakan. Ia terduduk di atas kursi tamu butut bersama tas kecil berisi mukena, bersiap untuk menuju masjid tempat ia mengajar iqra.

Sekilas emak melirik sebuah ponsel yang Risma pegang kemudian duduk tepat di sampingnya. "Hape baru, Ma?" tanya emak.

"Mm ... iya, Mak." Risma membalas diiringi sebuah anggukan.

"Kamu dapat uang dari mana? Emak bahkan belum punya uang buat bayar SPP kamu." Emak berucap sambil membelai kerudung anaknya.

Risma hanya terdiam beberapa saat. "Tunggu sebentar," ucapnya sambil beranjak menuju kamar. Beberapa saat kemudian ia kembali ke sana membawa sebuah amplop. "Ima--panggilan emak pada Risma--kemarin jual laptop. Lumayan dapat sejuta setengah. Yang 500 ribu Ima belikan hape, sisanya buat Emak. Ima tahu Emak butuh pisan uang ini," ucapnya sambil menyerahkan amplop itu.

Emak tersentak kaget. "I-Ima? E-emak ...," kalimatnya terputus, tak tahu harus berkata apa. Sementara itu, deru air hujan terdengar makin mengeras, membisukan lidahnya. Sesak di dadanya tiba-tiba menggunung, seakan memompa saluran air mata yang tiba-tiba tak mampu dibendung oleh kelopaknya. "K-kamu susah payah nabung sejak SMP buat beli laptop itu, Ma," lanjutnya dengan suara getir.

"Gak apa-apa kok, Mak. Ini kesempatan Ima buat berbakti sama Emak. Ima gak mau nyia-nyiain kesempatan berbakti sekecil apa pun," ucap Risma yang perlahan tampak mulai berkaca-kaca, tak menduga jika ibunya akan merespon seemosional ini.

Sang ibu merangkul anaknya erat, bersamaan dengan air mata yang tumpah ruah membasahi pipinya, seiring dengan deru air hujan yang kian memburu, berlomba-lomba dengan suara isak tangis sang bunda. "Terus kamu nulis gimana? Tugas sekolah gimana?" tanya ibu Risma tanpa melepaskan dekapan.

Pertanyaan itu sejenak membungkam Risma. Ia bingung hendak menjawab apa. Bukan karena ketergantungannya pada fasilitas. Faktanya, teman-teman sekelasnya pun banyak yang masih bisa mengerjakan tugas tanpa harus punya laptop. Hobi dan cita-cita menulisnya pun tak benar-benar bergantung pada laptop. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa semangat Risma dalam menulis selama ini sudah mulai luntur, apalagi setelah berbagai karya yang ia kirim ke berbagai media cetak dan online tak kunjung mendapat respon positif.

Risma masih termenung. Tak mungkin ia menyampaikan kemerosotan semangatnya kepada sang ibu tercinta, hingga tiba-tiba ponsel baru yang ia genggam memunculkan notifikasi pertamanya.

"Apa itu? SMS?" Emak melepaskan dekapannya, memberi kesempatan kepada Risma untuk memeriksa ponselnya.

"E-mail, Mak." Risma membaca isi e-mail itu beberapa saat, hingga kemudian raut mukanya mulai berubah. Senyum bahagia tampak jelas terlihat di balik sembab di matanya.

"Imel? Apa itu teh?"

Tiba-tiba Risma balik merangkul ibunya. Kali ini dengan rangkulan bahagia.

"Ada apa, Ma?"

"Puisi Ima, Mak."

"Puisi Ima kenapa?"

"Puisi Ima dimuat di koran nasional!"

============================

Very well, saya nulis ini pas kepala lagi agak berat--alesan. Maaf kalo agak gaje. Wkwkwk.

But, mudah-mudahan tetep kece ya.

Kalo ada yang kurang krisar aja. Kalo suka jangan lupa vomment. ^_^
Jangan jadi sider terus. Wkwkwk.

Di part selanjutnya, benang merah antara Risma dan Mey bakal mulai terlihat. Gak sabar? Iya, harus gak sabar--maksa. Wkwkwk.

Thanks ^_^

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang