20. Kasih Singkat Bi Cicih dan Air Wudu

2.2K 239 34
                                    

Apa? Jadi ini yang disebut tempat rehabilitasi? Bagaimana mungkin Mama menempatkanku di tempat seperti ini? Mey membatin melihat pemandangan di hadapannya.

Sekumpulan orang aneh menatap mereka dari balik jeruji besi yang Agus sebut barak. Tidak. Ini bukan barak. Ini penjara.

Beberapa dari belasan orang yang berada di dalam barak tersebut tampak tertidur beralaskan karpet seadanya, sementara beberapa yang lain hanya duduk sambil memelototi setiap orang yang lewat. Di salah satu sudut tampak seorang pria tua yang bernyanyi dengan lirik yang melantur. Jelas Mey tidak tahu judul lagu yang dinyanyikan kakek itu. Mungkin tidak satu pun dari mereka yang tahu. Bahkan mungkin tak satu pun di dunia ini yang tahu bahkan kakek itu sendiri.

Mey bergidik. Apa aku memang sama gilanya dengan orang-orang ini?

"Tentu saja tidak semua orang ditempatkan di tempat ini. Semua bergantung kepada tingkat kejiwaan mereka." Agus menuturkan kepada Kang Wandi dan Bi Cicih, seakan ia bisa membaca pikiran Mey.

"Kebetulan untuk sekarang para staf ahli sudah pada pulang, jadi Mey baru akan melaksanakan beberapa rangkaian tes besok pagi. Setelah itu kita akan menentukan tempatnya." Pria itu menatap Mey, tetap dengan senyumnya yang ramah.

"Aku rasa tempatku bukan di panti ini. Aku tidak gila, aku hanya mengalami anterograde amnesia," ucap Mey seraya menghentikan langkahnya. Matanya liar menatap orang-orang di balik jeruji.

"Dan sering melihat makhluk aneh, 'kan?" timpal Agus.

Mey mengalihkan pandangannya pada Agus yang sama sekali tak kehilangan senyumannya.

"A-apa itu berarti aku gila? Makhluk-makhluk itu nyata. Lagipula aku masih bisa mengobrol dengan Anda secara normal, 'kan? Tidak seperti mereka."

"Tentu saja tidak, Mey. Di sini kami akan membantumu mencari tahu tentang makhluk-makhluk itu." Agus membungkukkan badan, menyeleraskan tinggi tubuhnya dengan tubuh Mey hingga keduanya bertatapan beberapa saat.

"Baiklah, ayo kita lanjutkan," ucap Agus sambil kembali menegakkan badannya.

Sekitar seratus meter berjalan melalui lorong dari barak, mereka tiba di depan sebuah bangunan yang cukup luas, tampak seperti sebuah aula. Di dalamnya terlihat belasan orang duduk bersila sambil mengenggam kitab tebal.

"Nah, ini adalah masjid kami. Kami secara rutin melakukan berbagai aktivitas keagamaan di sini."

"Masjid? Keagamaan, ya?" Mey mengerutkan kening. "Mereka sedang membaca apa?" Mey bertanya.

"Itu Alquran. Kalimat-kalimat suci yang disampaikan oleh Allah untuk kita, hamba-Nya."

"Allah?"

"Ya, Tuhan kita. Pencipta kita." Agus tampak tak begitu terkejut melihat betapa polosnya Mey tentang agama dan Tuhan. Setidaknya ia telah mendengar cerita tentang Mey dari Kang Wandi. Lagipula, ia telah terbiasa menghadapi beragam keanehan dari calon kliennya.

"Oke, baiklah. Sebentar lagi isya. Setelah itu kalian mungkin ingin istirahat. Masih ada beberapa tempat yang belum ditunjukkan, mungkin besok kalian akan ditemani yang lain. Saya kebetulan harus berangkat ke Tasikmalaya besok pagi sekali."

"M-maaf, Mas." Mey menyela.

"Iya. Bagaimana, Mey?"

"Tentang Pencipta kita itu ...,"

"Ya?"

Mey tampak berpikir beberapa saat. "Ah, mungkin kapan-kapan saja."

Agus hanya tersenyum seperti biasanya.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang