16. Apa yang Terjadi Kemarin?

1.8K 221 9
                                    

Dunia ini ajaib dengan segala kenormalannya. Kicauan burung di pagi hari, embun-embun yang membasahi permukaan daun, makhluk nocturnal yang kembali tidur, dan makhluk diurnal yang mulai menggantikan mereka beraktivitas. Semuanya normal sekaligus ajaib, bergantung pada dari sisi mana kita melihat.

Pada dasarnya persepsi manusia sangat berpengaruh tentang hal apa yang mendapat julukan normal, dan hal apa yang mendapat julukan ajaib.

Seekor burung kecil terbang menghinggapi satu demi satu dahan rendah, mengitari sebuah halaman luas yang dihiasi perpaduan indah merah dan putih bunga bougenville dan kacapiring. Burung cinenen mereka menyebutnya. Satu jenis burung yang masih tersisa di antara populasi burung yang semakin terdesak oleh pembangunan hutan beton.

Burung dengan warna-warni merah dan kuning pudar di sekitar tubuhnya itu baru saja ditinggal pergi kekasihnya minggu lalu. Namun, ia tetap berusaha menghidupi dirinya meski semakin hari ia semakin kesepian. Sesekali ia berkicau dengan lengkingan yang berkali-kali lebih tinggi daripada ukuran tubuhnya.

Serangga-serangga yang sejatinya juga sedang melakukan hal yang sama—mencari makan, tak menyadari bahwa mereka sedang diincar burung pembunuh yang kesepian. Burung itu hinggap di salah satu dahan tempat para semut rangrang berkumpul membesarkan larva. Semut-semut itu sontak berlarian mencari tempat berlindung.

Sementara di seberang pohon itu, di balik sebuah jendela dan pintu kaca yang masih tertutup rapat oleh gorden cokelat tua, Mey masih terlelap, usai menghabiskan malamnya sebagia nocturnal, menghabiskan malam yang tak kalah sepi, tak kalah gundah dari yang dirasakan oleh sang burung cinenen.

“Neng, bangun. Sudah jam sembilan.” Entah di ketukan ke berapa Bi Cicih memanggil Mey pagi itu, Mey baru mau membukakan mata, kemudian bangkit dari tidurnya.

“Iya, Bi,” balas Mey sambil mengucek-ucek kedua matanya yang masih lelah. Zen yang sebelumnya masih meringkuk di sisi lain tempat tidur ikut bangkit.

“Jam segini baru bangun, aku sudah lapar dari tadi,” keluh Zen yang ukuran tubuhnya tak mampu mencapai gagang pintu kamar.

Mey tersenyum tipis. “Maaf, Zen. Sepertinya tadi malam aku tidur larut sekali.”

Zen hanya membalas dengan dengusan kesal.

Masih dalam keadaan ngantuk yang berat, Mey turun dari tempat tidur, meregangkan badan sambil menguap, seakan-akan berharap setelah itu ia akan segar seketika. Namun, upayanya terlihat percuma. Usai diregangkan, badannya kembali melemas dan terbungkuk.

Sambil berjalan sempoyongan ia menghampiri jendela, kemudian membuka gorden hingga cahaya mentari mengagetkan retinanya. Kelopaknya menciut beberapa saat, kemudian ia memalingkan tubuhnya dari cahaya dan berjalan menuju pintu kamar.

Sepintas ia melirik ke arah laci lemari yang masih tipis terbuka.

Sepertinya tadi malam aku benar-benar tidur larut. Kemarin pasti sangat menyenangkan hingga banyak hal yang perlu aku tulis,  batinnya sambil melanjutkan langkah, memenuhi panggilan Bi Cicih.

***

Ritual sarapan berjalan seperti hari-hari biasanya. Mey, Zen, dua piring nasi untuk Zen, sepiring nasi untuk Mey lengkap dengan telur mata sapi dan lauk serta sayuran lainnya. Minus hari ini adalah Mey tidak bisa menonton film Reynold and Maylene kesukaannya yang telah usai satu setengah jam yang lalu.

Celingukan Mey memperhatikan sekeliling sambil menyuapkan setiap sendok nasi, mengamati keberadaan penghuni rumah. Selain Zen yang berada di sampingnya, ia hanya melihat Bi Cicih yang tengah menyapu halaman di balik jendela.

Butuh waktu nyaris setengah jam bagi Mey untuk menghabiskan sepiring nasi, berbanding terbalik dengan Zen yang telah menghabiskan seluruh jatahnya dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

“Mama ke mana, ya, Zen?” Mey bertanya pada Zen yang langsung meringkuk di atas kursi usai menghabiskan makanannya.

Zen mengangkat kepalanya sesaat, kemudian membenamkannya lagi dalam pelukan kaki kelincinya. “Mana kutahu, Mey.”

Mey menghela napas kasar kemudian beranjak dari kursi, menuju halaman di mana Bi Cicih berada.

“Bi, Mama ke mana, ya?” tanyanya.

Bi Cicih sejenak menghentikan aktivitas sapu lidinya, “Oh, hm, Nyonya sedang keluar, Neng. Sepertinya ada perlu.”

“Oh,” balas Mey menanggapi sambil hendak beranjak kembali ke dalam rumah. Baru beberapa langkah ia berjalan, Bi Cicih tiba-tiba memanggilnya.

“Oh, iya, Neng, tadi Nyonya titip pesan buat Neng Mey.”

Mey seketika menghentikan langkahnya, kemudian berbalik badan. “Pesan apa, Bi?”

Sambil menyeka keringat yang bercucuran di wajahnya, Bi Cicih berjalan menghampiri Mey.

“Begini. Jadi ....” Ucapan Bi Cicih tampak tertahan beberapa saat, terlihat berusaha menyusun kalimat yang tepat tentang hal yang akan disampaikannya. “Jadi ... tadi Nyonya bilang, mulai hari ini Neng Mey akan tinggal di panti. Saya disuruh ngantar nanti siang.”

Mey terkejut seketika. Matanya menyipit heran.”P-panti? Panti apa? Ada apa? Kenapa Mama gak bilang langsung?” Mey melancarkan pertanyaan bertubi-tubi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kebingungan.

Mendapat serangan pertanyaan itu, Bi Cicih terlihat semakin bingung. Tangan kirinya yang tak memegang sapu menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal.

“Hhhmm, katanya ... di pinggir kota sana ada panti rehabilitasi yang bagus. Pokoknya Neng Mey gak boleh nolak katanya.”

Mey termenung beberapa saat. “Saya nunggu Mama dulu aja, ya. Biar nanti saya tanyain dulu langsung.”

“Ng-nggak, Neng. Katanya siang ini kita harus langsung berangkat. Nyonya pulangnya sore.”

Mey tampak merengut, berpikir.

“Nanti saya bantu siapkan barang-barangnya, ya, Neng,” ucap Bi Cicih seakan tak memberi kesempatan Mey untuk mempertimbangkan.

“E ... sebentar, Bi.” Mey masih berusaha mengulur waktu. Beberapa saat ia hanya terdiam. “Saya ke kamar dulu, Bi Cicih sekarang lanjut nyapu aja, ya,” ucapnya sambil berlalu dari tempat itu, berjalan menuju kamar dengan pikiran yang dijejali berbagai pertanyaan.

Kenapa? Ada apa?

Beberapa saat kemudian, ia teringat akan sesuatu. Buku itu? Malam tadi aku tidur larut? Apa yang terjadi kemarin sebenarnya?

Pertanyaan-pertanyaan yang seketika memacu gerak langkahnya lebih cepat.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Owalah, what happen?

Ko tiba-tiba Bi Cicih dan Maylene bersikap aneh, ya? 😅

Oke, jangan lupa kritik sarannya ya. Part-part ini rawan plothole keknya 😂

Kalo suka boleh vote

next part, kita masih lanjutin cerita Mey 😁

Dont miss it,  see ya 🙋

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang