22. Ayah

4.4K 317 50
                                    

Ranting-ranting bergoyang diempas angin, berusaha menggenggam setiap helai daun yang berjatuhan.

Entah kenapa daun-daun tua memilih melepaskan diri dari pohon. Mungkin di akhir hayat mereka ingin menjadi lebih berguna. Daripada tetap bergelantungan dan berdesakan dengan daun-daun muda yang baru tumbuh, mereka lebih memilih mengorbankan diri. Berbaur di atas permukaan tanah dan menjadikan diri mereka pupuk alami akan jauh lebih baik saat fotosintesis tak lagi berlaku.

Ya, begitulah mereka. Setidaknya mereka masih mematuhi siklus hidup yang seharusnya. Semakin tua dan dewasa, mereka mengorbankan diri agar daun-daun muda tetap berfotosintesis sebagaimana mestinya.

Manusia pun seperti itu, bukan? Kasih sayang orangtua, kasih sayang yang tak terkira. Kasih sayang yang tak pernah memandang rugi atau laba. Kasih sayang yang tak pernah bisa didefinisikan dengan logika. Bagaimana bisa seorang manusia bisa berkorban begitu besar demi manusia lain? Hanya orangtuamu yang bisa melakukannya.

Namun, tak semua orang bisa menikmati kasih sayang itu selamanya. Kadang kasih sayang itu harus terhenti karena maut, perceraian, atau konflik-konflik keluarga lainnya.

Ranting itu tampak masih berusaha keras mempertahankan sehelai daun tua yang hendak menjatuhkan diri. Setidaknya ranting itu berhasil untuk beberapa saat, sebelum sang angin datang. Sang angin menyisir satu per satu daun yang ada, kemudian menjatuhkan paksa daun yang mereka rasa telah waktunya dikorbankan.

Ketika angin itu menyentuh sang daun, sang ranting hanya bisa pasrah. Sudah waktunya.

Sang angin kemudian mengantar daun tua itu ke tempat yang ia inginkan, tepat di depan teras masjid, di depan seorang anak kecil yang tengah terduduk sambil memainkan pesawat terbang kecilnya.

"Bapa, Bapa! Kalau nanti sudah besar aku mau jadi pilot!"

"Wow! Hebat sekali anak bapa ini. Makanya belajar yang rajin. Jangan malas kalau ada PR," ucap sang ayah sambil memaju mundurkan gagang lap pelnya.

"Ah, Bapa. Aku malas kalau ada PR. Aku kan mau jadi pilot, harusnya di sekolah belajar naik pesawat, bukan belajar matematika!"

"Eh, gak boleh gitu. Masa nanti ada pilot gak bisa matematika."

Sang anak memasang muka cemberut menanggapi nasihat ayahnya.

Sang ayah mengelus-elus kepala putranya sambil setengah tertawa, tak tahan melihat raut cemberut yang menggelitik.

Dari kejauhan, dari seberang jalanan, sepasang mata sayu memperhatikan mereka dari balik jendela. Mata yang memancarkan aura sendu, berusaha membongkar serpihan-serpihan rindu yang tertimbun di dasar hatinya.

Rindu yang teramat sangat kuat, yang meskipun tertimbun bertahun-tahun, tapi tak pernah berhenti menyayat.

Pulpen dan buku yang ada di hadapannya masih enggan bersua satu sama lain.

Air matanya baru saja hendak jatuh jika tak dihentikan oleh suara pintu yang diketuk dari luar, suara yang membangunkannya dari mimpi di siang itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Risma bergegas berlari menuju asal suara.

"Aeh, Ma. Kamu gak dengar suara klaksonku apa?" Tanpa ba-bi-bu Euis menyerocos begitu saja ketika Risma membuka pintu.

"Eh, iya sory, Is. Sini ke kamar dulu bentar. Ditungguin dari tadi lama amat sih! Udah mau jam sembilan ini, kirain gak jadi ikut."

"Iya, Ma. Maaf, abis nyuci dulu tadi."

"Sok rajin."

"Iya lah, Ma. Buat dapet imam idaman kan kitanya dulu yang harus jadi makmum idaman," ucap Euis sambil mesem-mesem gak jelas.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang