14. Hujan

2.3K 225 22
                                    

Suara petir sesekali bersahutan bersama deru air hujan yang berhamburan terjun menerjang jalanan. Setiap tetes yang terjatuh kemudian membaur dengan tetesan yang lain, berlarian bersama menuju parit yang memanjang di pinggiran jalan.

Beberapa di antaranya terjebak di antara lubang-lubang kecil yang menganga, menggenang hingga berubah menjadi air comberan.

Sementara itu, kelompok-kelompok lain saling mendorong untuk memasuki parit yang makin sesak karena berdesakan dengan sampah-sampah yang ikut mengantri. Atau mungkin memang sampah-sampah itu tidak berniat ikut mengantri?  Karena kebanyakan mereka hanya menggulung dengan sampah-sampah lain, menghalangi jalan masuk air.

Saat komplotan air terus berdatangan menerjang mereka, sampah-sampah itu tetap tangguh menahan gempuran, malah semakin kuat dengan bala bantuan yang datang bersama arus air yang membawa sampah-sampah lain.

Komplotan-komplotan air yang tidak beruntung akhirnya hanya bisa kembali meluap ke atas jalanan. Berkumpul bersama tetesan-tetesan lain yang baru jatuh, menciptakan genangan setinggi mata kaki.

Mungkin mereka sudah menyerah menggempur sampah-sampah yang membendung jalan mereka, sehingga mereka hanya berharap kendaraan-kendaraan yang lewat menggilas mereka hingga terlempar ke pinggir jalanan dan menggenang menjadi kubangan di atas trotoar.

Apa lagi yang mereka harapkan? Manusia yang ada di sekitarnya jangankan mau menolong mereka meruntuhkan bendungan sampah, mereka malah ikut-ikutan mengirim bala bantuan. Sampah yang ada di pekarangan mereka ditendang-tendang agar ikut pergi bersama arus, hanya agar sampah itu tidak ada di pekarangan mereka, tidak peduli mereka pergi ke mana.

Satu komplotan air yang sudah senior berkumpul di bawah atap sebuah kedai, berputar-putar di dalam sebuah gelas dipandu oleh sebatang logam tipis yang bagian bawahnya berbentuk cembung, atau mungkin cekung? Ah, mudahnya katakan saja logam itu adalah sebuah sendok.

Air-air yang sudah malang melintang di bumi itu berdansa bersama serbuk-serbuk kopi hitam. Tadinya mereka berdansa juga bersama dua sendok gula pasir, tapi butiran-butiran bening itu hanya bertahan selama beberapa detik. Mereka memang tidak suka dengan air-air senior itu.

Air-air yang gagah itu bercerita kepada kopi bagaimana mereka turun dari langit, malang melintang menjadi air comberan, air sumur, hingga air galon.

Mereka tidak sadar bahwa sebentar lagi beberapa di antara mereka akan kembali menguap ke langit, dan sisanya akan mengarungi dunia tubuh manusia hingga akhirnya terjun di atas kloset dalam wujud air seni. Serbuk-serbuk kopi yang saat itu berdansa dengan mereka akan mereka tinggalkan terbengkalai di atas gelas, merana dan terbuang. Kurang lebih seperti sosok pria malang yang saat ini memandangi mereka.

Pria itu hanya terduduk lesu dengan tatapan kosong, memandangi kopi seduhan yang baru saja dihidangkan oleh si bibi penjaga kedai, atau lebih tepat disebut Teteh penjaga kedai karena usianya yang masih muda. Denis dan teman-teman di kantor biasa ngopi di sana sepulang kerja. Berkumpul di sana sambil bercanda, menggoda si Teteh muda yang selalu mengantarkan seduhan kopi hangat di dalam cangkir bening, disajikan bersama senyum hangat tersimpul dari wajah yang juga bening.

Namun, sore itu, sementara yang lain berteduh di pelataran kantor untuk menunggu hujan reda, Denis lebih memilih pulang lebih dulu. Hujan lebat yang turun seakan memberinya kesempatan untuk menyendiri, menikmati setiap tetes air yang terempas dari langit menyentuh kulitnya, membasahi setiap inci wajahnya. Beberapa orang bilang berjalan di tengah hujan itu indah, karena tidak ada yang akan tahu kalau kita sedang menangis.

Namun, rupanya Denis hanya sanggup menikmati hujan sejauh kurang dari satu kilometer. Jalanan yang semakin tergenang air membuatnya menyerah. Hingga ia memutuskan untuk berhenti di kedai kopi langganannya tersebut.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang