21. "Gak Usah Catat Apa Pun."

2.7K 247 58
                                    

Putih? Kenapa orang-orang menyukai putih? Mereka bilang putih itu bermakna bersih, suci, belum ternoda. Benarkah begitu?

Jika seseorang menyebut putih itu warna yang belum ternoda, maka mereka tentunya tak tahu bagaimana warna putih itu terjadi.

Keterbatasan kemampuan manusia hanya memungkinkan mereka untuk melihat warna yang terbentuk dari pantulan cahaya dengan spectrum 380-780 nanometer.

Di antara warna-warna yang terpantul itu, putih bukanlah yang paling murni. Bahkan justru putihlah yang paling terkontaminasi karena ia terbentuk dari gabungan seluruh elemen cahaya yang lain.

Lantas, seperti apa kemurnian sejati itu? Apakah bisa direpresentasikan oleh sebuah warna? Jika putih menjadi representasi kemurnian, maka seperti apa manusia murni yang memiliki sifat putih itu?

Tidak. Kain lebar yang menutupi nyaris sekujur tubuh Mey--hanya menyisakan wajah dan tangan--itu tidak putih, apalagi murni. Jika putih saja tidak murni, apalagi putih kusam. Mukena, begitu Bi Cicih menyebutnya.

"Pokoknya ikuti gerakan orang lain aja ya, Neng." Sebuah arahan yang disampaikan Bi Cicih tepat sebelum semua orang tiba-tiba membisu.

Oh, jadi ini toh salat itu? Setidaknya ia beberapa kali melihat orang-orang melakukan ritual seperti ini, meski tentunya kebanyakan ia tak bisa ingat, setidaknya saat SD ia pernah punya beberapa teman yang suka melakukan hal seperti ini, meski Mey baru tahu kalau orang yang salat ternyata tidak bisa diajak ngobrol, bahkan berbisik pun tak boleh.

Sempat ia berbisik pada Bi Cicih, menanyakan apa yang dibacakan seorang pria di barisan paling depan. Ya, meskipun ada kain menghalangi pandangan barisan perempuan, tapi dari suara yang terdengar Mey cukup yakin orang itu berada di barisan terdepan.

Beberapa kali ia bertanya, meyakinkan bahwa suaranya cukup bisa didengar Bi Cicih, tapi pengasuhnya itu benar-benar tidak bisa diinterupsi.

Ia lalu bertanya pada seorang wanita yang berada di sampingnya. Wanita itu tampak tidak sefokus Bi Cicih, terlihat dari matanya yang liar mengedarkan pandangan ke sana kemari tak tentu tujuan.

"Kak, boleh tanya? Yang di depan itu baca apa, ya?" bisik Mey.

Wanita itu tiba-tiba mendelik. Memelototi Mey sangar, kemudian menempelkan telunjuk kepada bibirnya.

"Sssssttt ... lagi salat gak boleh ngomong!" ucapnya setengah berbisik.

Mey hanya merengut menanggapi ucapan orang aneh itu. Ah, dasar orang stres.

Rakaat kedua berlangsung dengan gerakan yang sama dengan gerakan rakaat sebelumnya. Cukup mudah, hanya mengulang beberapa gerakan. Setelah ini mereka akan berdiri lagi. Yakin Mey dalam sujudnya.

"Allaahu Akbar!" Sang imam menggemakan takbir.

Mey menerjemahkan takbir itu sebagai komando untuk kembali pada posisi pertama, berdiri.

Tepat saat ia mantap berdiri, ia baru menyadari bahwa tak ada satu pun orang lain yang melakukan hal sama dengan dirinya. Sial! Aku salah.

***

Usai mencatat setiap kejadian hari itu, Mey bergegas merebahkan diri di atas kasur menyusul Bi Cicih dan Zen yang telah lebih dulu terlelap.

Namun, seringkali rasa kantuk saja tak cukup untuk mengantarkan seseorang menuju lelap. Pikirannya masih begitu penuh akan tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak mungkin Mama menempatkanku di tempat seperti ini. Apakah ini inisiatif Bi Cicih? Rasanya Bi Cicih pun tak begitu akrab dengan tempat sereligius ini. Kang Wandi? Dia bahkan tak mengenalku, atau ... aku yang tak mengenalnya? Lupa? Jika mereka bersekongkol, rasanya aneh melihat sikap mereka yang tak terlihat seperti teman baik. Lantas? Apa yang akan terjadi besok? Apa aku akan betah di sini? Apa tempat ini akan menyembuhkanku? Apa aku akan tinggal di barak yang seperti penjara itu?

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang