9. Tangan Cahaya

2.9K 294 18
                                    

Jakarta, 1 September 2010

Hari itu, Mey kecil terlihat lebih bersemangat. Jika biasanya pukul enam pagi ia baru bangun tidur, hari itu ia telah siap dengan seragam sekolah. Jika biasanya ia menghabiskan sarapan dalam waktu lima belas menit, hari itu piringnya sudah bersih dalam waktu kurang dari lima menit. Ia ingin segera berangkat menuju sekolah, sesegera mungkin agar memiliki kesempatan untuk memamerkan sahabatnya yang sudah mulai bisa bicara.

Beberapa saat sebelum jam pelajaran pertama dimulai, dengan bangga ia mempertontonkan Zen mengeja kalimat pertama yang ia pelajari dari tuannya. “Halo, aku Zen. Salam kenal,” ucap makhluk mungil itu di depan kelas. Namun, respon dari kawan-kawannya berbanding terbalik dengan yang Mey harapkan. Tidak ada antusiasme. Seisi kelas sunyi senyap, hening. Sehening papan tulis. Bahkan, papan tulis pun terlihat lebih bisu dari biasanya.

Mey mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, di mana teman-temannya menatap balik dengan berbagai tatapan yang berbeda. Mulai dari tatapan aneh, takut, risih, bahkan tanpa ekspresi. Sementara itu, senyum dan tawa Mey yang sebelumnya begitu lebar sedikit demi sedikit semakin memudar, ikut tertelan kebisuan.

Pada jam istirahat di hari yang sama, Zen tiba-tiba menghilang dari sampingnya. Mey sempat panik beberapa saat sebelum ia menemukan Zen. Namun, ia sama sekali tidak tenang ketika itu. Dirinya malah semakin panik ketika tahu bahwa teman-teman lelaki sekelasnya mengambil Zen secara diam-diam.

Tak cukup di situ, teman-temannya itu memperolok dan membanting-banting Zen di hadapan Mey. Mey berteriak-teriak histeris, menangis tak karuan melihat Zen mengerang-erang minta pertolongan, sebelum wali kelasnya datang dan menghentikan aksi kejam dan tak berperikemanusiaan itu. Atau mungkin ia datang hanya untuk menghentikan kegaduhan yang terjadi? Mey tak tahu pasti.

Siang itu Mey pulang diiringi tangis yang mengucur deras, bersama Zen yang tergolek lemas di pangkuannya. Setibanya di rumah, Mey langsung mengadu pada ibunya.

“Kenapa kamu, Mey?” tanya Maylene sambil merangkul anaknya.

“M-Ma, ke-kenapa t-temen-temen Mey s-selalu nganggap Zen c-cuma boneka?”  adu Mey sesenggukan. “P-padahal t-tadi pagi me-mereka lihat s-sendiri Zen b-bisa bicara,” lanjutnya.

“Ssstt. Udah jangan nangis. Kita ke kamar, yuk!”

Mey mengikuti ajakan ibunya tanpa membantah.

“Kita baca puisi lagi aja. Sini, mana buku puisi Mama?” Aneh memang. Mana ada anak kecil yang mau dihibur dengan puisi? Tapi memang faktanya seperti itu. Mey mungkin satu-satunya anak kecil yang bisa berhenti menangis ketika ibunya membacakan puisi. Karena itulah ibunya sengaja mencetak sebuah buku kumpulan puisi untuk Mey. Dengan kecerdasan Mey yang di atas rata-rata, ia yakin Mey bisa menjadi seorang sastrawan besar di masa yang akan datang.

Mey dengan gontai mengambil sebuah buku dengan cover berwarna cokelat tua, bertuliskan Kumpulan Puisi by Maylene pada sampulnya. Ia kemudian memberikan buku itu pada ibunya.

Maylene membuka beberapa halaman, kemudian menunjukkan sebuah kertas yang tersisip di antara halaman-halaman itu pada putrinya. “Baca ini.”

Mey menatap tulisan itu, membaca setiap kalimatnya, berulang-ulang. “Mey nggak ngerti.”

Ibunya hanya membalas dengan seiris senyuman, lalu mendekap putrinya erat.

***

16  Maret 2018. Di kamar yang sama.

Mey membuka buku kumpulan puisi Maylene, lembar demi lembar, hingga kemudian ia mengambil secarik kertas yang terselip di antaranya.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang