17. Intuisi

1.8K 195 9
                                    

Gadis itu membolak-balik lembaran catatan satu hari yang lalu, tak ada yang istimewa dari pagi hari ia bangun, makan, merenung di atas balkon hingga siang hari. Namun, sejak siang hari, semua catatannya berubah penuh akan coretan-coretan yang tak jelas, bahkan sobekan-sobekan tak teratur di sana-sini.

Tidak! Apa sebenarnya yang baru saja terjadi kemarin? Tidak ada catatan bahagia. Ini rumit. Apa yang kutulis kemarin? Apa yang kucoret? Kenapa ibu tiba-tiba menyuruhku seperti itu?

Mey meremas-remas rambutnya gemas, berupaya mengingat. Pekerjaan yang ia tahu tidak akan berhasil ia lakukan. Ternyata hari yang indah seperti dugaannya tidak pernah ia tulis. Lalu, apa yang ia pikirkan sepanjang malam hingga bukunya penuh coretan?

Sesuatu pasti telah terjadi. Tapi apa? Mey lalu mondar-mandir mengelilingi kamar, hingga nyaris semua petak keramik yang ada di sana sudah ia injak.

“Zen, jangan tidur terus! Bantu aku mengingat yang terjadi kemarin!” Mey membentak.

Zen mengangkat kepalanya, kemudian menggeleng. “Aku nggak tahu, Mey. Aku kemarin hanya bermain-main di sekitar rumah. Mana kutahu apa yang kau kerjakan?”

Ah, makhluk ini memang tidak bisa diharapkan, batinnya sambil kembali melanjutkan aktivitas tidak jelas dan sama sekali tidak efektif.

“Tapi ....” Zen tiba-tiba kembali berbicara.

Mey menghentikan langkahnya, berbalik menatap Zen.

Zen beberapa saat menjilati bulu-bulunya, kemudian menggaruk-garuk moncong dengan kaki besarnya. “Berhentilah melakukan hal yang tidak berguna.”

Mey mengerutkan keningnya, memikirkan perkataan yang baru saja keluar dari mulut Zen. “Zen?”

“Apa?”

“Itu beneran kamu yang ngomong?”

Zen mengangkat bahunya. “Cuma berusaha menolong,” tutupnya, kemudian ia kembali melanjutkan tidur. Hanya butuh beberapa detik baginya untuk kembali mendengkur.

Mey memperhatikan hewan itu beberapa saat, kemudian ia berjalan perlahan menuju balkon dan mendudukkan tubuhnya di atas kursi. Ia benar. Berhenti melakukan hal yang tak bisa kulakukan, berhenti memperbaiki yang tak bisa diperbaiki.

Mey kemudian memandangi langit seperti kebiasaannya, langit yang saat itu mulai dilanda mendung.

Berpikir jernih. Berpikir jernih. Fokus pada solusi. Aku nggak akan bisa mengingat hal apa pun. Bertanya pada Mama? Bertanya pada Bi Cicih? Dua hal itu bisa aku lakukan. Tapi belum tentu aku akan mendapat jawaban yang jujur. Ya, setidaknya dua hal itu bisa aku coba. Tapi jika jawaban mereka meragukan dan tak bisa kupercaya .... Mey kembali memandang langit.

... Apa yang akan kulakukan?

Mey meletakkan bukunya di atas meja. Baiklah langkah pertama, lakukan pengecekan yang lebih teliti.

Diperiksanya tulisan itu lebih seksama, diterawangnya kertas demi kertas yang tercoret dengan bantuan cahaya matahari yang semakin tertutup awan gelap. Tak ada pencerahan yang ia dapatkan. Hasilnya tetap sama, sia-sia.

Langkah kedua, bertanya pada Mama. Tidak. Langkah kedua, bertanya pada Bi Cicih. Langkah ketiga ...

Mey berpikir sejenak, merenung lebih dalam, memikirkan setiap kemungkinan, kemudian tiba-tiba ia menggelengkan kepala, menghapus semua ide-ide yang sebelumnya terlintas di sana. Jika aku mencoret-coret tulisan itu, berarti memang aku tidak ingin mengingat apa yang terjadi. Jadi, aku tak usah mengetahui hal yang terjadi sebenarnya. Tak usah membaca lebih teliti, tak usah bertanya. Maka aku harus bisa memutuskan tanpa mengetahui hal yang terjadi itu. Hanya satu hal yang saat ini bisa kuandalkan. HATI. Ya, aku percaya pada hatiku. Aku percaya pada intuisiku.

Mey kemudian bangkit dari kursinya, berjalan mendekati tepi balkon sambil memejamkan mata, menjernihkan pikiran sebisa mungkin. Ketika itu, kakinya merasakan sebuah sentuhan benda kecil yang jatuh. Seketika matanya terbuka dan menatap benda itu. Secarik kertas yang terlipat persegi, dengan sisi luar bertuliskan, PENTING.

Mey mengambil kertas itu, kemudian membacanya perlahan, kata demi kata,

Luapan api melahap harapan

Membakar habis tangan cahaya

Namun, kamu tahu tangan itu masih ada

Tanganmu akan meraihnya

Mengejar cahaya itu di mana pun ia berada

Dan ... Ia akan meraihmu saat kau datang

Dibacanya tulisan itu lamat, dipahaminya semampu mungkin. Kemudian dilipatnya kembali kertas itu dan dipegangnya erat tepat di depan dada, sambil menundukkan kepala dan memejamkan mata. Ia menanamkan kertas itu beserta kata-kata yang tertulis di dalamnya, ke dalam titik pusat dari hatinya, sedalam mungkin.

Beberapa saat kemudian, ketika kata-kata itu telah benar-benar tertanam, kedua matanya mulai terbuka dengan sorot yang berbeda, penuh dengan keyakinan.

Ya, aku tahu ke mana hatiku menuntunku. Tangan cahaya, siapa pun kamu, apa pun alasan apa yang membuatmu tertulis dalam kertas ini ... kita akan bertemu.

Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar dari balik kamar. “Masuk, Bi.”

Pintu pun terbuka. Bi Cicih menampakkan dirinya dari balik sana. Wajahnya tampak sedikit bingung. Langkahnya tampak ragu. “G-gimana, Neng?”

Mey mengangkat kepalanya sambil berbalik ke arah Bi Cicih. “Bawa baju yang kira-kira nanti Mey butuhkan di panti aja, Bi. Jangan lupa buku-buku catatan Mey juga.” Mey membalas diiringi senyuman tipis di wajahnya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Thats it!

Part ini singkat aja ya.

Penasaran gak sih sama lanjutannya?

Penasaran, dong! *maksa 😂

Oke, as always, like this part or not, leave your mark here! 😁

Boleh berupa komen atau vote, gimana kalian ikhlasnya aja asal jangan terlalu sider wkwk 😁

See ya 🙋

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang