19. Mak Nining

2.3K 240 6
                                    

“Ah, Kang Wandi. Akhirnya datang juga. Silakan duduk dulu. Kami buatkan kopi, ya.” Seorang wanita berkerudung dengan perawakan kecil mempersilakan sang sopir. Mata wanita itu terlihat cekung, kelelahan yang ketara di usianya yang tak lagi muda. Namun, sinar wajahnya tetap begitu cerah dihiasi senyum ramah. “Ibu ....” Wanita itu tampak berpikir ketika menatap Bi Cicih.

“Cicih, Mak.” ucap Bi Cicih melanjutkan kalimat wanita itu sambil tersenyum tipis.

“Oh, Bu Cicih mau minum apa?”

“Ah, nggak usah repot-repot, Mak.”

“Nggak repot, kok. Saya buatkan air hangat aja, ya.”

“Boleh, Mak. Asal nggak terlalu ngerepotin.”

“Ah, repot sebelah mananya, sih,” ucap wanita itu sambil kemudian berlalu meninggalkan mereka.

Mey, Zen, Bi Cicih, dan sopir yang kini diketahui bernama Wandi itu duduk menanti sang wanita itu kembali. Bungkam masih menghiasi kebersamaan mereka.

Beberapa saat kemudian, wanita itu kembali bersama seorang wanita yang lebih muda sambil masing-masing menenteng sebuah baki. Wanita tua itu membawa baki yang di atasnya menumpang tiga cangkir berukuran sedang yang telah terisi, sementara wanita muda yang mendampinginya membawa baki yang ditumpangi aneka makanan kecil dalam toples kaca.

Setelah mereka meletakkan hidangan-hidangan itu di atas meja, sang wanita tua duduk di salah satu kursi menghadap ke arah mereka yang menjadi tamu, sementara wanita muda langsung beranjak sambil menjinjing dua baki yang kini telah kosong.

Hatur nuhun, Mak.” Kang Wandi membalas sambil menggosok-gosok tangannya kedinginan.

“Maaf, ya. Di sini nggak ada apa-apa.” Wanita itu selalu bisa menampakkan keramahan yang tulus tanpa sedikit pun terlihat berusaha, seakan-akan keramahan adalah sudah bagian dari dirinya yang tak bisa lepas. “Jadi ... Neng ini yang namanya Mey, ya?”

Mey hanya membalas dengan sebuah anggukan segan.

“Kang Wandi sudah cerita apa aja tentang tempat ini?”

Terdapat jeda selama beberapa detik hingga Mey membalas dengan sebuah gelengan kepala.

“Baiklah, sebelumnya saya perkenalkan dulu diri saya, nama saya Nining, biasa dipanggil Emak di sini. Saya yang mendirikan panti rehabilitasi ini.

“Secara umum, tempat ini adalah panti rehabilitasi jiwa yang mengedepankan aspek agama dalam pemulihan setiap kliennya. Sebelas tahun yang lalu, saya sengaja mendirikan tempat ini jauh dari keramaian kota demi menciptakan suasana yang damai bagi para penghuninya.

“Untuk menunjang pemulihan klien, alhamdulillah kami memiliki staf ahli di berbagai bidang mulai dari ahli keagamaan, kesehatan, hingga ahli psikologi. Penanaman nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan menjadi pondasi yang sangat penting dalam penyembuhan. Inna bizikrillaahi tatmainnul qulub. Ketenangan hati sangat penting dalam pemulihan kondisi kejiwaan, dan ketenangan itu hanya bisa kita dapatkan dengan senantiasa mengingat Tuhan.

“Banyak orang kehilangan arah karena mereka tidak memiliki tumpuan kepada siapa hati mereka harus mengadu di setiap permasalahan yang mereka hadapi, hingga akhirnya mereka mengalami stres dan goncangan yang berlebih dan akhirnya kejiwaan mereka terganggu.”

Mey sesekali mengangguk dan mengernyit menanggapi pembicaraan panjang lebar dari Mak Nining yang lebih mirip ceramah atau curhat daripada menjelaskan apa yang akan Mey lakukan selama di tempat itu. Pertanyaan pun menggunung di hatinya, bagaimana mungkin Mama dan Papa memasukkanku ke dalam tempat seperti ini? Ada yang aneh. Namun, tentu saja bukan saat yang tepat untuk mengungkapkan pertanyaan itu sekarang.

"Does God Really Exist?"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang