Part 4 | Cara Cinta Bekerja

2.3K 329 94
                                    

A THING CALLED US | PART 4

"She is a mess
but she is a masterpiece."
─ Lz

[ KEENAN ]

Terjebak hidup bersama seseorang yang suara tawanya selalu menemani hari-hari gue selama dua belas tahun terakhir membuat gue merasa hening setiap kali dia gak ada di sisi gue. Ya, walaupun sejauh ini gue lebih sering dirugikan ketimbang diuntungkan selagi sama dia. Tapi entah sejak kapan, melihat dia bergantung sama gue rasanya candu.

Iya, candu banget.

Orang yang gue maksud itu namanya Hana. Gerhana Senja. Nama yang cukup aneh─sekaligus cantik─persis perwujudan manusianya.

Gue gak ingat bagaimana dan kapan persisnya pertama kali kita bertemu. Yang gue ingat, lebih dari separuh hidup gue semuanya gue lewati sama Hana. Mulai dari berebut ayunan di TK, saling ledek karena gue lebih dulu hapal pancasila sementara dia bangga karena berhasil menyanyikan lagu Bintang Kecil di depan kelas. Mandi bersama, memanjat pohon jambu milik tetangga dan terjatuh bersama, belajar sepeda bersama, dan momen-momen bersama lainnya.

Mungkin karena itu, gue jadi terbiasa melewati apa-apa sama dia. Hal sekecil apapun, rasanya selalu mau gue bagi sama dia. Cheesy emang, tapi faktanya memang begitu.

Dan gue rasa, itu berlaku juga sebaliknya. Kayak sekarang....

"Keenan, lo dengar gue gak, sih? Kok lo diam aja gue lagi cerita juga? Gue nih jadi berasa ngobrol sama mesin cuci tau!" Suara dengusan Hana di ujung telepon sana bikin sudut bibir gue tertarik ke atas, entah kenapa wajah kesalnya langsung terlintas di benak gue.

"Gue gak tuli, Na."

"Lo juga gak bisu, makanya gue cerita tuh ditanggapin bukannya hm-hm doang. Tipes lo?"

Gue ketawa, gimana bisa sosok mungil ini punya taraf bawel yang luar biasa? Untung telinga gue ini ciptaan Tuhan, kalau ciptaan China, gue gak tahu lagi gimana bentuk telinga gue yang haru s nerima kebawelan Hana selama bertahun-tahun.

Hana mengesah panjang sebelum bersuara lagi. "Gue ulang ya, gue gak yakin lo dengar gue soalnya. Jadi, tadi gue lagi nunggu kopaja di halte─"

Gue buru-buru memotong omongannya. "Langsung ke bagian lo ketemu si ketua BEM itu aja, gue pusing dengarnya diulang mulu."

"Nah itu lo nyimak ternyata."

"Gue emang nyimak, Hana. Dan kalau gue gak salah ngitung, lo udah cerita masalah ini enam kali."

"Kalau gitu dengar yang ketujuh," balasnya, masih diiringi nada semangat yang sama─yang juga gak bosan gue dengarkan. Walaupun jujur aja, gue gak suka topik obrolannya kali ini. "Kak Kamasean baik banget, Ken! Gue kira dia bakal galak gara-gara ketua BEM dan mukanya gue pajang di mading, tapi ternyata nggak marah, loh."

Gue berdeham. "Hm...."

"Lo hm-hm sekali lagi gue doain gigi lo empuk ya, Ken."

"Oh, udah ketemu? Keren."

"Iya, keren kan dia?" Hana terkekeh renyah di ujung sana, kembali menjabarkan detail-detail lelaki yang baru aja di pujanya itu. Seperti alisnya yang menurut dia gemas, atau tatapannya yang menurut dia tajam. Gue selalu suka apapun yang Hana bagi dengan gue, secara gak langsung itu menyadarkan gue kalau gue berarti buat dia. Tapi kali ini, gue gak bisa.

Ternyata, melihat orang yang kita suka menyukai orang lain itu menyebalkan, ya?

Dulu, perasaan menyiksa ini gak pernah hadir di antara gue sama Hana. Gue pernah pacaran sama perempuan lain, Hana juga pernah punya hubungan sama laki-laki lain─banyak malah. Gak pernah ada yang bermasalah, selain gue yang bakal marah kalau Hana berakhir disakiti atau Hana yang bakal marah ke gue karena seringnya mantan gue berakhir nangis dan ngadunya ke Hana.

A Thing Called Usحيث تعيش القصص. اكتشف الآن