Part 20 | 7 O'clock Conversation

1.1K 169 72
                                    

A THING CALLED US | PART 20

"I feel like someone else
when I am with you
a better someone, a softer me."
─ Komal Kapoor

[ HANA ]

"Gue punya sesuatu buat lo!"

Kalimat Kak Sean ternyata menghantarkanku pada sebuah gedung puluhan tingkat yang selalu kulewati tiap kali berangkat dan pulang kuliah, itu adalah gedung apartemennya. Kamarnya sendiri ada di lantai tujuh belas, bukan lantai yang bagus kalau lift sedang mati atau ada gempa─oke, lupakan bagian itu─tapi Kak Sean kan penyuka malam dan langit, pasti menyenangkan melihat pemandangan itu dari balkon kamarnya.

Ia kini tengah membuka pintu, tapi ada sesuatu yang janggal dari tingkah lakunya sejak di basement tadi, lengkung senyumnya tidak henti-hentinya bermain, membuatku berpikir yang tidak-tidak saja.

Aku memalingkan wajah, enggan terlihat salah tingkah karena ia terus menatapku dengan tatapan tajamnya itu. Begitu pintu membuka, ada sebuah melodi yang mengalun pelan dari dalam, yang langsung saja membuatku memutar mata untuk menajamkan pendengaran.

Aku kenal lagu ini. 'Fly Me to the Moon' versi akustik, petikan gitarnya pelan dan lembut, menambah kesan romantis karena musiknya membaur di ruangan temaram yang hanya diterangi oleh lampu-lampu kuning─berpendar lemah di sisi-sisi dinding. Langkahku berhenti setelah Kak Sean menutup pintu, kami berpandangan, tapi tidak saling berkata-kata.

"I-ini apa?" tanyaku, masih terpaku di tempat meski Kak Sean telah bergerak membenahi bantal-bantal di atas karpet yang menghadap televisi, lalu beralih ke pantry.

"Lo pernah bilang mau deeptalk sama gue," jawabnya, tapi itu tidak menjawab pertanyaanku. Dalam remang-remang lampu yang berkedip, Kak Sean tersenyum lagi, entah apa yang akan dilakukannya dengan dua cangkir di atas meja bar itu. "Lo juga bilang lo gak bisa begadang, kan?"

Aku mengangguk, diam-diam terkesan karena ia mengingat kata-kataku.

"Well, karena gue juga gak mungkin bikin lo nginap di apartemen gue buat deeptalk jam tiga pagi, jadi ya begini aja."

"Begini gimana?"

Ia mendekat, menarikku untuk duduk di atas karpet, mengambil kardigan yang baru saja kulepas beserta tasku, kemudian menggantungnya di hanger di dekat pintu masuk. "Ya, begini. Masih jam tujuh sih, tapi kan udah gelap, anggap aja sekarang jam tiga pagi." Kak Sean kembali dari pantry, menyodorkan segelas coklat panas padaku. "Gue sengaja ngatur ini sedemikian rupa supaya kayak tengah malam beneran, termasuk nyusun itu supaya gue gak harus ngebawa lo ke kamar," lanjutnya lagi seraya mengedikkan kepala untuk menunjuk tempat dudukku, kali ini ia nampak awkward, aku ingin tertawa. "Gue takut lo mikir yang nggak-nggak."

Gue udah mikir begitu daritadi padahal.

"Gue gak mikir yang nggak-nggak."

"Iya. Lo pasti berpikir begitu."

"Nggak. Lihat siapa yang berpikir begitu." Aku bersikukuh, lucu melihatnya panik dan salah tingkah.

"Gue juga bakal antar lo pulang sebelum jam sembilan."

"Oke," balasku.

"Oke."

Kami berpandangan kembali.

"Yaudah, gue mandi dulu." Setelah berkata begitu, Kak Sean berlalu menuju kamar mandi, meninggalkanku dalam temaramnya ruangan yang katanya telah ia siapkan khusus untukku. Sembari mendengarkan lagu yang terputar dalam mode repeat itu, aku membawa gelas coklat panasku berkeliling─melihat-lihat seisi apartemennya yang rapi, seolah semuanya tertata dan tidak ada benda yang terletak tidak sesuai tempatnya. Aku ingin tersenyum lagi, Kak Sean benar-benar orang yang teratur, persis seperti yang kukenal. Kemudian aku menemukan figura yang terpajang di atas meja di dekat televisi, foto-fotonya yang terbingkai dengan kayu bercat putih.

A Thing Called UsWhere stories live. Discover now